Ayah Bunda, Perhatikan Anak Anda Saat Berselancar di Internet Sebab Ada 3 Potensi Kekerasan
JAKARTA - Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA RI), Ciput Eka Purwianti meminta orang tua untuk berhati-hati dalam mendidik anak.
Khususnya saat menggunakan internet. Apalagi dengan situasi COVID-19 yang mengharuskan anak belajar secara daring.
Menurut Ciput Eka, ada 3 resiko bagi anak mengalami kekerasan di ranah daring. Pertama, soal kekerasan siber dimana terdapat seksual daring yang terekspos pada tindakan menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.
"Anak juga bisa terkontaminasi dengan konten-konten radikalisme dan eksploitasi lainnya yang kita sudah banyak kasusnya," ujar Ciput dalam temu media secara dilansir Antara, Rabu, 10 Februari.
Baca juga:
- Kartun Powerpuff Girls Diadaptasi ke Serial Live Action
- Viral! Situs Aisha Weddings, Tawarkan Paket Nikah Muda, Siri sampai Poligami
- Kasus Anak Gugat Ayah Rp3 miliar di Bandung Berakhir Damai dengan Pelukan dan Tangisan
- Situs Aisha Weddings Tawarkan Jasa Nikah Anak 12 Tahun, Eko Kuntadhi: Bedakan Pinsil Alis dan Crayon Aja Masih Salah
Risiko selanjutnya adalah adiksi siber. Beberapa kota di tanah air bahkan telah melaporkan kasus ini. Anak usia di bawah 10 tahun sudah adiksi pada gawai, termasuk adiksi pada game online juga adiksi pada pornografi.
Berikutnya, risiko lain yang banyak terjadi tanpa disadari adalah perundungan siber. Kebanyakan anak menerima perundungan siber secara online dari teman sebanyak, namun juga orang dewasa.
Data tentang kekerasan yang dialami anak-anak di media sosial, dari Yayasan Plan International Indonesia pada 2020, menunjukkan ancaman terbesar adalah kekerasan seksual.
"96 persen dari responden mengatakan mereka mengalami ancaman kekerasan seksual. Terbesar berikutnya ada pelecehan seksual, atau pelecehannya lainnya, melalui komentar atau pun pesan yang diterima oleh anak-anak," kata Ciput.
Kekerasan di media sosial berikutnya adalah stalking oleh orang asing atau orang dewasa, dan kebanyakan adalah predator. Kemudian, ada body shaming, pelecehan seksual, komentar rasis, ancaman kekerasan fisik dan juga dipermalukan.
Survei lainnya, yang dilakukan di masa awal pandemi pada April 2020, Ciput menyebutkan ada sekitar 30 persen atau 112 anak yang mengaku mereka mendapatkan kiriman tulisan atau pesan teks yang tidak senonoh.
"Jadi pornografi itu tidak hanya berupa video atau gambar tapi juga termasuk teks," dia melanjutkan.