Jika Medsos Dibiarkan Terus Berjualan, UMKM dan Pedagang di Pasar Konvensional Bisa Segera Gulung Tikar
JAKARTA - Dukungan parlemen terhadap kebijakan larangan berjualan di media sosial jadi bentuk dukungan terciptanya keadilan berusaha bagi seluruh pedagang. Namun pemerintah harus membuat regulasi turunan dari kebijakan ini berlandaskan pada unsur keseimbangan antara pasar digital dan konvensional.
Hal tersebut disampaikan Pakar Digital, Anthony Leong yang menilai gerak cepat Pemerintah dan DPR berkolaborasi melahirkan kebijakan tersebut sudah sangat tepat. Lahirnya aturan baru itu dianggap sebagai bukti lembaga legislatif dan eksekutif menjunjung tinggi setiap aduan masyarakat.
"DPR dan Pemerintah cepat tanggap menghadapi problematika yang ada di masyarakat. Tentunya kolaborasi ini sangat baik karena kita perlu menjaga ekosistem usaha yang baik, bagaimana keseimbangan dunia online dan offline," kata Anthony Leong, Jumat 29 September.
Larangan praktik social commerce di mana media sosial dan e-commerce (perdagangan elektronik) harus dipisahkan lahir seiring terbitnya Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha. Kebijakan ini sebagai respons atas sepinya pasar-pasar konvensional buntut perdagangan digital yang menawarkan harga sangat murah di social commerce.
Kegelisahan pedagang konvensional tersebut pun banyak disuarakan oleh DPR. Anthony mengapresiasi dukungan dari DPR itu sehingga Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan demi membantu pedagang di pasar-pasar konvensional.
“Suara-suara dari DPR sudah ada sejak isu ini belum terlalu menjadi sorotan. Jadi desakan dari DPR sangat berperan atas lahirnya kebijakan dari Pemerintah agar ada keberimbangan perdagangan di ranah digital dan konvensional,” sebut Wakil Sekretaris Jenderal BPP HIPMI ini.
Anthony mengatakan, praktik social commerce seperti TikTok Shop yang mengombinasikan konsep media sosial dan e-commerce dalam satu platform belakangan telah mendominasi perdagangan di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut mempengaruhi keseimbangan perdagangan.
"Bagaimana juga aplikasi yang ada di luar negeri seperti TikTok Shop sangat mendominasi sekarang dan melangkahi batas-batas kewajaran harga. Tentunya mereka juga bisa menguasai kita dalam bentuk algoritma, dalam bentuk behaviour dan sebagainya," jelas Anthony.
Baca juga:
Langkah antisipasi dari DPR dan Pemerintah terkait larangan TikTok Shop bertransaksi jual beli dinilai menjadi langkah tepat untuk melindungi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan pedagang di pasar-pasar konvensional. Apabila tidak ada intervensi, kata Anthony, praktik social commerce dapat mematikan pasar konvensional.
"Tentu ini bentuk antisipasi juga dalam rangka upaya penyelamatan UMKM di Indonesia. Dan kita memang harus tegas terhadap aplikasi dari luar seperti Tiktok yang menguasai market kita dengan sangat luar biasa ini," jelas CEO Menara Digital itu.
Terlepas dari terbitnya Permendag Nomor 31 Tahun 2023, Anthony memaparkan bahwa sudah banyak pasar konvensional di Indonesia yang mulai ditinggalkan oleh pelanggannya. Penyebabnya ialah, perkembangan industri teknologi digital yang merambah ke praktik jual beli.
“Tak hanya membantu perlindungan terhadap UMKM, peraturan yang baru diterbitkan juga memastikan terdapat pemisah antara media sosial dan e-commerce sehingga tidak dimonopoli satu platform,” ungkap Anthony.
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut pun menilai kebijakan baru terkait praktik social commerce ini dapat menjadi penghalang bentuk-bentuk monopoli platform media sosial yang merambah dunia e-commerce. Terutama, disampaikan Anthony, bagi TikTok Shop yang juga dikeluhkan pelaku usaha digital dari platform khusus perdagangan elektronik.
"Kebijakan ini menjadi benteng terhadap potensi TikTok menggunakan alogaritma penggunanya yang dimanfaatkan sebagai langkah predatory pricing sehingga lebih mampu melindungi pelaku usaha UMKM yang menjual produk serupa di e-commerce," ujarnya.
Meski begitu, Anthony berharap Pemerintah dapat menciptakan regulasi turunan yang akan memberikan keseimbangan dan keadilan antara pelaku usaha online dan konvensional. Hal ini sejalan dengan pesan yang disampaikan DPR.
Anthony bahkan mendorong Pemerintah menggagas dibuatnya platform khusus bagi para pelaku UMKM lokal. Dengan demikian, produk UMKM Indonesia tidak kalah saing dengan produk-produk luar negeri.
"Seperti yang diingatkan DPR, Pemerintah harus bisa meng-create suatu regulasi dalam melindungi UMKM kita ke depan. Misalnya dengan mengedepankan aplikasi yang berfokus pada produk lokal Indonesia. Jadi kita bisa menyaingi aplikasi-aplikasi luar," imbaunya.
“Market kita besar, jadi harus ada regulasi yang mendukung, yang berpihak untuk produsen dan konsumen di dalam negeri. Sehingga devisa tidak ke luar,” tambah Anthony.
Terkait keluhan dari konten kreator pasca dikeluarkannya Permendag Nomor 31 Tahun 2023, Anthony menilai aturan baru itu sebenarnya tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku endorse.
Hal ini lantaran para konten kreator masih bisa membuat promosi jualan di media sosial yang diarahkan untuk membeli barang yang dipromosikan melalui platform e-commerce atau toko konvensional.
"Karena mereka tetap bisa mempromosikan produk-produk yang mereka endorse sehingga tak akan menghilangkan mata pencaharian para kreator sehingga iklim ekonomi digital tetap terjaga dengan baik," jelas Anthony.