Kemlu Pastikan WNI Terjerat Hukum Peroleh Akses Kekonsuleran

JAKARTA - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) memastikan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri akan memperoleh akses kekonsuleran saat menghadapi kasus hukum.

"Kami pastikan bahwa setiap warga negara kita mendapatkan akses tersebut," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kemlu Judha Nugraha dalam FGD Penghapusan Mandatory Death Penalty Malaysia  dilansir ANTARA, Kamis, 21 September.

Judha menanggapi keputusan Pemerintah Malaysia pada 16 Juni 2023 untuk mengundangkan dua undang-undang penghapusan kewajiban menerapkan hukuman mati.

Negara itu mengamendemen hukum pidana Malaysia dengan menghapus sifat mandatori pada hukuman mati dengan menambahkan alternatif hukuman penjara paling singkat 30 tahun penjara dan paling lama 40 tahun penjara.

Amendemen itu membuat pemerintah Malaysia memberikan kewenangan sementara kepada Mahkamah Federal untuk menerima permohonan peninjauan kembali (PK) dari narapidana yang telah dijatuhi hukuman mati dan seumur hidup yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Menanggapi keputusan tersebut, Judha menyebutkan pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah langkah penanganan litigasi dan non litigasi dalam pelindungan dan pendampingan hukum bagi WNI terancam hukuman mati di luar negeri, antara lain dengan memberikan akses kekonsuleran.

Pemerintah juga mengupayakan penunjukan pengacara dan penerjemah bagi WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri, selain langkah hukum lainnya yang sesuai dengan aturan hukum negara setempat.

Selanjutnya, pemerintah melakukan upaya diplomatik tingkat bilateral melalui lobi dan nota diplomatik serta melakukan pendekatan kepada pemerintah negara setempat sesuai budaya setempat.

Berdasarkan rekapitulasi hasil pendataan oleh seluruh perwakilan di Malaysia ke penjara-penjara di wilayah kerja masing-masing, total ada 77 kasus WNI yang akan mengajukan PK di seluruh Malaysia.

Dari jumlah itu, 61 di antaranya terjadi di seluruh Semenanjung, delapan kasus di wilayah kerja KJRI Kota Kinabalu, enam kasus di wilayah kerja KJRI Kuching, dan dua kasus di wilayah kerja KRI Tawau.