Kebakaran Museum Nasional adalah Kelalaian yang Harus Diinvestigasi Hingga Tuntas
JAKARTA - Kebakaran Museum Nasional yang terjadi pada Sabtu (16/9/2023) malam menimbulkan duka, terutama bagi para pecinta sejarah. Sebagian bangunan peninggalan Belanda ini serta sejumlah koleksi benda bersejarah ludes terbakar.
Kebakaran terlihat dari Gedung A Museum Nasional atau yang juga dikenal dengan sebutan Museum Gajah mulai pukul 20.08 WIB. Beruntung api tidak menjalar ke gedung lainnya dan berhasil dipadamkan sekitar empat jam jam kemudian.
Menurut keterangan dari Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta Satriardi Gunawan, kebakaran Museum Nasional berasal dari penyejuk udara (AC). Akibat kebakaran yang terjadi akhir pekan kemarin, Museum Nasional ditutup sementara hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Penutupan Museum Nasional tentu amat disayangkan, karena tempat itu merupakan salah satu museum di DKI Jakarta yang paling sering dikunjungi pelajar dalam rangka study tour. Tapi di sisi lain, tragedi kebakaran ini juga bisa menjadi momen untuk pihak terkait untuk melakukan pembenahan mengingat angka kunjungan ke museum terbilang jauh dari kata membanggakan.
Kesiapan Indonesia Melakukan Repatriasi
Ini bukan pertama kalinya Museum Nasional mendapat musibah. Pada September 2013, terjadi pencurian artefak bersejarah dari Mataram kuno di Museum Nasional. Sejarawan sekaligus pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI), Asep Kambali menyayangkan insiden ini.
Asep menyebut peristiwa kebakaran ini perlu ditelisik lebih lanjut, apakah ada kesengajaan atau hanya kelalaian. Namun menurut dia, kebakaran ini bukan musibah, melainkan suatu kelalaian sehingga perlu diinvestigasi.
“Sekarang bulan September, di bulan yang sama terjadi kebakaran. Saya enggak tahu ini maksudnya apa, apakah ada kesengajaan atau tidak,” kata Asep.
“Ini adalah bencana yang disebabkan kelalaian manusia, jadi sudah pasti ini bukan musibah yang harus diratapi tapi justru harus ditelurusuri investigasi siapa pelaku dana pa motif kebakaran ini.”
Dalam kesempatan yang sama, Asep mengatakan peristiwa kebakaran ini menjadi bukti ketidaksiapan museum di Indonesia melindungi barang repatriasi dari museum di Belanda.
“Soal repatriasi koleksi dari Belanda, kalau tidak salah ada 472 tiba pada bulan Oktober ini atau memang ada yang sebagian sudah tiba. Ini semakin membuktikan Indonesia tidak mampu mengelola aset sejarah,” imbuh pria kelahiran Cianjur ini.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, repatriasi diartikan sebagai pemulangan kembali orang ke tanah airnya atau ke negeri asalnya. Namun dalam kasus kebakaran di Museum Nasional, barang repatriasi adalah barang yang dikirim dari Belanda untuk dipulangkan ke Tanah Air.
Pada Juli lalu, Belanda mengembalikan sejumlah benda bersejarah milik Indonesia yang dilakukan di Museum Volkenkunde, Leiden. Saat itu Indonesia diwakili oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, Himar Farid. Sementara dari Belanda diwakili Menteri Muda Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda, Gunay Uslu.
Dikatakan Hilmar, repatriasi benda bersejarah ini bukan sekadar memindahkan barang dari Belanda ke Indonesia, melainkan juga mengungkap pengetahuan sejarah, dan asal-usul benda-benda seni bersejarah yang selama ini belum diketahui masyarakat.
"Jauh sebelum benda-benda tersebut kembali ke Indonesia, kedua komite repatriasi dari Indonesia dan Belanda bekerja sama melakukan serangkaian pertemuan dan diskusi, untuk membahas makna dari benda-benda tersebut bagi kedua bangsa, baik di masa lalu maupun di masa kini," ujarnya.
Museum Perlu Berbenah
Menurut data Kemenbudristek, Indonesia memiliki 439 museum di Indonesia pada 2020, dengan Jawa Timur sebagai provinsi yang memiliki museum terbanyak, yaitu 64 museum. Sementara DKI Jakarta dan Jawa Tengah berada di urutan selanjutnya dengan masing-masing memiliki 61 unit museum.
Meski jumlahnya cukup banyak, museum bukan termasuk tempat yang dilirik banyak orang. Kunjungan ke museum tidak sebanyak ke tempat wisata lainnya. Bahkan di hari biasa, bukan akhir pekan, pengunjung ke museum di DKI Jakarta, termasuk Museum Nasional, lebih sering dikunjungi oleh pelajar dalam rangka karya wisata sekolah.
Dari data Badan Pusat Statistika (BPS) DKI Jakarta, jumlah pengunjung menurut jenis museum di Provinsi DKI Jakarta di tahun 2021 hanya 119.657 kunjungan. Jumlah tersebut menurun jauh dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 2.056.897 kunjungan.
Bahkan total jumlah ini juga masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 11.092.256 kunjungan. Pandemi COVID-19 ditengarai sebagai salah satu penyebab penurunan jumlah kunjungan karena saat itu sejumlah museum membatasi kunjungan dan bahkan menutup beberapa museum di Jakarta.
Selain itu, rendahnya angka kunjungan ke museum karena itu dianggap tempat yang kurang mengasyikan bagi anak muda. Museum sering dianggap hanya sebagai tempat penyimpanan barang kuno bagi kaum milenial, generasi z, dan generasi alpha.
Karena itulah, butuh pendekatan berbeda agar museum lebih dilirik anak muda. Salah satunya adalah dari segi desain kontemporer yang saat ini digandrungi anak-anak muda dengan konsep estetik dan instagramable.
"Anak-anak muda ingin merasa menjadi bagian dari pameran saat berada di sana, dan pergi dengan perasaan terdidik, terhibur, dan menghasilkan foto yang bagus dan menarik untuk media sosialnya," ujar Henry Aritonang, sebagai ahli desain interior sekaligus pemilik Creative Interior Service.
Baca juga:
- Pantauan Netray Soal Kontroversi Video Azan Stasiun TV Swasta yang Menampilkan Ganjar Pranowo
- Mengeruk Pundi-Pundi Uang Lewat Program Affiliate Jangan Dikira Gampang
- Pelarangan TikTok Shop Tak Otomatis Kembalikan Kejayaan Pasar Konvensional
- Potensi Kerusakan Lingkungan, Sosial, dan Budaya Akibat Pembangunan Rempang Eco City
Di sisi lain, Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah SMK DKI Jakarta, Nurrahmah Mazria meminta semua sekolah untuk mengadakan kunjungan ke museum secara rutin, salah satunya agar para siswa dapat berimajinasi terkait masa lalu, tidak hanya sekadar membaca atau menghapal materi dari buku saja.
“Kalau bercerita atau membaca saja, itu kurang menarik bagi anak-anak. Makanya bagaimana mereka bisa datang ke sini dengan tugas atau membuat media virtual tour atau gambar-gambar kebetulan yang ada dalam museum, kita bisa masukkan itu ke dalam pembelajaran,” kata Nurrahmah, dikutip Antara.