Undang 19 Eks Narapidana Terorisme, BNPT Ingatkan Jangan Anti-Pancasila
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) meminta mantan narapindana terorisme (napiter) bijak dalam menyikapi keragaman yang ada di Indonesia.
Pernyataan itu disampaikan Sujatmiko saat acara "Silaturahim Bersama Mitra Deradikalisasi" di Pondok Kekayuan, Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu 13 September. Kegiatan ini dihadiri 19 napiter yang telah kembali ke tengah-tengah masyarakat.
"Kita berbeda pemikiran dalam menjalankan agama sesuatu hal yang wajar, tetapi jangan sampai jadi permusuhan di antara kita. Oleh sebab itu, apabila masih ada perbedaan pemikiran, lebih baik dibicarakan secara baik-baik karena yang berbeda itu sejatinya sama-sama mencari kebaikan, artinya sama-sama mencari keselamatan di dunia akhirat," kata Kasubdit Bina Masyarakat BNPT Kolonel Pas Sujatmiko dalam keterangannya, Kamis 14 September, disitat Antara.
Sebanyak 19 napiter yang datang ke lokasi acara berasal dari wilayah Kota Bima, Kabupaten Bima; Kabupaten Dompu; dan Kabupaten Sumbawa Barat.
Ia berpesan agar para mitra deradikalisasi agar benar-benar menjauhi virus radikalisme. Pasalnya, virus itulah yang membuat mereka harus berurusan dengan hukum dan tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
"Kita sebagai warga negara menyadari virus radikalisme yang dapat merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara yang baik, seperti anti-Pancasila, anti-NKRI, antikebinekaan, menganut paham takfiri, kekerasan, dan anti-pemerintahan yang sah," ujar Sujatmiko.
Dia menekankan kepada para mitra deradikalisasi agar jangan sampai mereka memelihara sikap anti-pemerintahan yang sah.
"Pemerintahan yang sah artinya didirikan sesuai kesepakatan seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu kita hormati dengan kritik yang baik," tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Kesbangpol Kota Bima Muh. Hasyim memberikan pesan singkat kepada para mitra deradikalisasi. Ia meminta agar semua anak bangsa ikut berperan aktif menjaga keutuhan dan kemakmuran Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber yang juga mitra deradikalisasi dari Surabaya, Jawa Timur, Ustaz Saifudin Umar. Dalam paparannya, Saifudin menjelaskan keunikan pandangan Ibnu Taymiyyah mengenai jihad toleransi yang dituliskan di dalam bukunya berjudul "Jihad Toleransi Ibn Taymiyyah".
Saifudin mengungkapkan Ibnu Taymiyyah sudah hampir tujuh kali masuk penjara karena pemikirannya dan ketika Ibnu Taymiyyah ditawarkan untuk membalas memenjarakan ulama yang pernah memenjarakannya, Ibnu Taymiyyah menolak dengan alasan karena ulama tersebut masih bermanfaat untuk masyarakat.
“Uniknya pemikiran Ibnu Taymiyyah juga dipakai di mana-mana, orang-orang liberal memakai pemikiran Ibnu Taymiyyah, dan orang-orang keras pun memakai pemikiran Ibn Taymiyyah, meski fatwa Ibnu Taymiyyah tersebut didistorsi orang-orang keras," ujar Saifuddin.
Baca juga:
Ia mengungkapkan tentang lima kaidah takfir Ibnu Taymiyyah, antara lain tidak boleh memudahkan pengkafiran, mengkafirkan adalah tuntutan syari bukan akal, bahasanya bukan mengkafirkan tetapi menyalahkan, mujtahid apabila melakukan kesalahan, tidak boleh dikafirkan, semua masalah membutuhkan pemaknaan atau tafsir yang tepat.
Ustaz Saifuddin menutup materinya dengan menggarisbawahi bagaimana meneladani Ibnu Taymiyyah, yaitu sifatnya yang berlapang dada.
Kegiatan dilanjutkan diskusi dengan beberapa peserta mitra deradikalisasi bertanya mengenai perbedaan bidah dan penyebab ghuluw dalam takfir dan bagaimana cara menangkal ghuluw takfir. Di dalam salah satu jawabannya, Ustaz Saifuddin berpesan bahwa ghuluw bisa diobat dan bisa diperbaiki.
"Dan fungsi kita adalah meniatkan diri untuk dakwah dalam nama Allah SWT," pungkasnya.