Pantauan Netray: Warganet Gaduh Gegara Rencana Penggantian Pertalite dengan Pertamax Green 92
JAKARTA – Berita terkait rencana mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 ramai dibicarakan warganet selama sepekan ke belakang. BBM dengan oktan tinggi dinilai lebih irit bagi kendaraan karena pembakaran BBM-nya lebih lambat.
Hal ini diungkapkan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati yang menyebut akan menghapus Pertalite dan menggantinya dengan Pertamax Green 92 mulai tahun depan.
"BBM subsidi kita naikkan dari RON 90 ke RON 92, karena aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) octane number yang boleh dijual di Indonesia minimum 91," kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu 30 Agustus lalu.
Walau diklaim lebih irit, wacana penghapusan Pertalite dengan Pertamax Green 92 menuai kontroversi. Apalagi, Pertalite merupakan jenis BBM yang banyak diminati utamanya oleh kelas menengah ke bawah. Ini terbukti dari penyaluran BBM Pertalite sepanjang semester pertama 2023 mencapai 14,8 juta kiloliter atau telah mengambil porsi sebanyak 45,4% dari total kuota tahun ini.
Direspons Negatif Warganet
Wacana penghapusan Pertalite ini pun menjadi pembahasan di media sosial dan Netray mencoba mengamati ragam pemberitaan media massa. Dengan menggunakan kata kunci pertalite&&pertamax green ditemukan 249 artikel dari 79 media menerbitkan topik ini sepanjang periode 30 Agustus sampai 6 September 2023.
Selan pemberitaan media massa, Netray juga memantau melalui kanal video YouTube sekaligus untuk mengetahui komentar warganet terkait usulan ini. Dengan kata kunci pertalite&&pertamax green serta pertalite&&dihapus Netray menemukan sebanyak 155 unggahan video muncul selama periode pemantauan. Dari unggahan tersebut, warganet menontonnya sebanyak 361,3 ribu kali dan menghasilkan 2,813 komentar yang didominasi komentar bersentimen negatif sebanyak 1.716.
“Diam-diam premium hilang… sekarang akal akalan mau menghilangkan pertalite!!! Ini cara Pertamina menaikan harga BBM!!!” tulis akun Aat Supriawijaya.
Wacana penghapusan Pertalite memang cukup menarik perhatian publik. Apalagi sebelumnya, BBM jenis Premium dengan nilai oktan atau Research Octane Number (RON) 88 sudah resmi tak beredar sejak 1 Januari 2023. Kini giliran BBM Pertalite dengan RON 90 yang rencananya ikut-ikutan menghilang di pasaran.
Sementara itu, Pertamax yang saat ini beredar di pasaran juga akan berubah nama menjadi Pertamax Green 92. Pertamax Green sendiri merupakan Pertalite dengan 8 persen etanol. Selain itu, Pertamina berencana hanya akan menjual tiga produk BBM yaitu Pertamax Green 92, Pertamax Green 95 dan Pertamax Turbo.
Bak Pisau Bermata Dua
Pertamina memiliki alasan terkait rencana menghapus Pertalite. Kebijakan ini sejalan dengan program pemerintah untuk mengurangi polusi udara dengan menggunakan bahan bakar berbasis nabati atau bioenergi.
Maklum, Indonesia tengah berjuang melawan polusi udara yang makin memprihatinkan dari hari ke hari. Kendaraan diklaim sebagai penyumbang polusi terbesar, dengan nilai 44%, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehuatan (LHK) Siti Nurbaya.
“Dikonfirmasi kembali angka-angka yang dilihat sebagai sumber pencemaran ataupun penurunan kualitas udara Jabodetabek yaitu 44% kendaraan, 34% PLTU, sisanya adalah lain-lain, termasuk dari rumah tangga, pembakaran, dan lain-lain," kata Siti dalam konferensi pers, disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (28/8/2023).
Namun, meski baru berupa gagasan, rencana menghapus Pertalite dan menggantinya dengan Pertamax Green 92 sudah menemui halangan. Hal ini diungkapkan Menteri ESDM, Arifin yang mengatakan gagasan tersebut belum bisa dilakukan tahun depan karena masih terkendala bahan baku.
Menurut Arifin, Indonesia belum menghasilkan bahan baku ethanol alias tebu untuk memproduksi Pertamax Green. Produksi ethanol baru memasuki tahap uji coba dengan mengandalkan pasokan tebu di Jawa Timur.
Dilansir laman Pertamina, ethanol merupakan senyawa kimia yang dikenal dengan sebutan etil alkohol atau alkohol. Senyama ini merupakan salah satu jenis alkohol yang lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad), Yayan Satyakti pesimistis dengan kesiapan pasar Indonesia menyambut kehadiran Pertamax Green. Selain soal pasokan tebu yang masih belum memadai, peta jalan bahan bakar bioethanol di Indonesia juga masih belum kuat. Menurut Yayan, butuh waktu sekitar 8-10 tahun bagi Indonesia untuk mempersiapkan hal tersebut.
Dan, waktu selama kurang lebih satu dekade ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menggarap pengembangan infrastruktur yang masif dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 100 persen. Karena kalau harus mengimpor bahan baku, ujung-ujungnya rakyat juga yang dirugkan.
“Saya kira strategi mengalihkan impor fossil fuel ke bioethanol tidak murah. Pasar kita masih belum siap. Ini saja masih blunder, andai dipaksakan, maka ranah politik lagi yang berman,” ucap Yayan.
Baca juga:
- Program Diversifikasi Pangan yang Belum Berhasil Ikut Sumbang Kenaikan Harga Beras
- Menyingkap Perilaku Maladaptif Remaja demi Sensasi dan Perhatian
- Luluk Nuril, Seleb Medsos Probolinggo yang Norak Sampai Lupa Diri Jika Bersuami Bintara Polisi
- Masalah Perpanjangan SIM Menjadi Polemik karena Kepolisian Tidak Konsisten Soal Peraturan
Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna meminta pemerintah berhati-hati membuat program dengan embel-embel lingkungan. Menurutnya, program hijau di balik setiap lonjakan harga energi bisa membentuk sentimen negatif terhadap transisi ke depan. Putra menyebut ada dua hal yang harus diperhatkan pemerintah jika ingin merealisasikan program transisi ke Pertamax Green 92.
Pertama soal kejelasan harga dan siapa yang akan menanggung jika terjadi lonjakan dan fluktuasi harga. Kedua, yang tak kalah penting, adalah menyoal sustainability sumber bahan baku bioethanol. Jangan sampai terjadi kompetisi antara pemenuhan bahan baku dan kebutuhan pangan serta risiko jika dilakukan pembukaan lahan.