Urgensi Pesan DPR Bagi KTT di Jakarta Dibutuhkan Masyarakat ASEAN

JAKARTA - Pesan yang dibawa DPR RI pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN yang digelar di Jakarta dinilai memiliki urgensi yang cukup tinggi. Sebagai mitra Pemerintah, Parlemen dinilai punya peranan dalam pembentukan kebijakan untuk rakyat sehingga sinergitas kedua lembaga tersebut sangat penting.

"Kerja sama Parlemen dengan Pemerintah sangat urgen karena sinergitas Parlemen dan Pemerintah sangat penting saat Pemerintah mengambil kebijakan,” kata Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana, Kamis 7 September.

Saat pembukaan KTT ke-43 ASEAN, Ketua DPR RI Puan Maharani menekankan pentingnya sinergi antara parlemen dan pemerintah di kawasan Asia Tenggara dalam menghadapi situasi dan tantangan global. Hikmahanto menilai, pesan yang disampaikan Puan perlu mendapat perhatian mengingat parlemen merupakan perwakilan rakyat.

“Pemerintah tidak bisa mengabaikan parlemen karena parlemen sebagai representasi rakyat perlu dilibatkan,” tuturnya.

Dalam perhelatan KTT ke-43 ASEAN yang dihadiri pemimpin negara-negara ASEAN, Puan juga menyebut sinergi antara pemerintah dan parlemen adalah kunci dalam menjawab tantangan global yang semakin kompleks.

Kerja sama parlemen dan pemerintah memang tidak hanya sebatas di tingkat nasional saja. Berkaca dari pengalaman penanganan pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Asia Tenggara, sinergi yang baik antara parlemen dan pemerintah memungkinkan negara-negara di ASEAN merumuskan respons yang lebih kuat dan efektif.

Hikmahanto mengatakan, parlemen sebagai wakil rakyat memiliki peran penting dalam merumuskan kebijakan dan legislasi yang memengaruhi hubungan luar negeri dan diplomasi suatu negara.

“Sehingga peran parlemen juga termasuk mengevaluasi kebijakan luar negeri dan memastikan bahwa kepentingan nasional dan nilai-nilai kawasan bisa tetap sama-sama dijaga,” terang Rektor Universitas Jenderal A. Yani itu.

Hikmahanto juga menyoroti seruan DPR RI untuk seluruh negara ASEAN agar kompak mengimplementasikan Five Point of Consensus (5PC) dalam penanganan krisis di Myanmar.

Apalagi parlemen-parlemen negara Asia Tenggara melalui Sidang Umum ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-44 yang baru saja selesai digelar di Jakarta beberapa waktu lalu telah menghasilkan konsensus yang mengeksplorasi mekanisme dan dapat digunakan untuk mengawasi implementasi 5PC yang selama ini digunakan sebagai pedoman terkait situasi di Myanmar agar kembali aman dan damai.

Pada Sidang Umum AIPA ke-44 dengan DPR RI sebagai tuan rumah, Parlemen se-Asia Tenggara juga sepakat membentuk komite Ad-Hoc dalam rangka membantu Myanmar mencapai solusi damai dan berkelanjutan.

Tak hanya itu, AIPA juga berencana mengirimkan perwakilan berupa task force (satuan tugas) ke Myanmar guna memantau penyelesaian krisis kemanusiaan dan melihat kondisi masyarakat di sana yang terdampak konflik.

“Langkah yang hendak dilakukan patut diapresiasi di mana dialog dikedepankan,” ucap Hikmahanto.

Ditambahkannya, dukungan terhadap implementasi 5PC di Myanmar adalah langkah positif dalam mendukung nilai-nilai perdamaian yang dianut di ASEAN. Meski begitu, Hikmahanto mendorong agar AIPA lebih mengintervensi pemimpin di Asia Tenggara mengingat korban rakyat sipil di Myanmar semakin banyak.

“AIPA perlu mendorong agar Kepala Pemerintahan dan negara ASEAN mendiskusikan opsi lain agar korban sipil di Myanmar tidak terus berjatuhan,” sebutnya.

“Salah satunya dengan memanfaatkan instrumen Responsibility to Protect (R2P) yang dikenal dalam hukum internasional,” imbuh Hikmahanto.

Responsibility to Protect sendiri adalah sebuah prinsip di dalam hubungan internasional yang bertujuan untuk mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect) rakyatnya dari empat jenis kejahatan tersebut.

Lewat instrumen ini, komunitas internasional juga mempunyai tanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam memenuhi tugasnya tersebut. Jika dengan berbagai sebab suatu negara tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melindungi rakyatnya, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk melakukan intervensi.

Intervensi dilakukan dalam rangka menyelamatkan masyarakat dari pemusnahan massal dan juga dari berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. Prinsip ini telah secara serempak didukung oleh komunitas internasional dalam Konferensi Tingkat Tinggi Dunia (KTT) PBB tahun 2005 di mana negara-negara di dunia berjanji untuk menjunjung prinsip ‘Responsibility to Protect’ agar dunia tidak pernah lagi menyaksikan tragedi kemanusiaan.

Hanya saja, Hikmahanto menekankan agar instrumen ini dilakukan untuk pencapaian damai di Myanmar tanpa penggunaan kekerasan dan lebih pada pendekatan ekonomi.

“R2P yang dilaksanakan sebaiknya tidak menggunakan senjata tetapi melakukan embargo ekonomi,” tegasnya.