Penghapusan Kewajiban Penyusunan Skripsi Bisa Bikin Mahasiswa Malah Makin Tertantang
JAKARTA - Kebijakan penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S1 merupakan bentuk kemerdekaan dalam belajar. Skripsi pada era sekarang menjadi hal yang membatasi eksplorasi akademis, dan kadang-kadang mengganggu proses pembelajaran yang lebih luas.
"Persyaratan skripsi menjadi beban yang berat dan terkadang membatasi eksplorasi ilmu dan minat akademik mahasiswa. Diperlukan suatu terobosan yang bisa menyalurkan bakat dan minat, sehingga mudah diserap di dalam dunia pekerjaan," kata Ketua DPR Puan Maharani, Selasa 5 September.
Saat ini skripsi sudah tidak lagi menjadi syarat kelulusan bagi mahasiswa S1 yang aturannya tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Selain itu, mahasiswa S2 dan S3 juga tidak dibebankan membuat tesis dan disertasi sebagai syarat kelulusan.
Sebagai gantinya, Pemerintah mengusulkan tugas akhir bisa berbentuk prototipe atau proyek sehingga bukan hanya skripsi, tesis, dan disertasi. Namun keputusan itu diserahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi tempat mahasiswa menimba ilmu. Puan menganggap hal tersebut merupakan bentuk terobosan yang dilakukan Pemerintah.
"Ini adalah bentuk kemerdekaan dalam belajar, sehingga mahasiswa bebas menentukan arah kelulusan mereka tanpa harus berpatokan dengan sistem yang ada. Mahasiswa akan merasa lebih tertantang, saat mereka diberi keleluasaan dalam menentukan masa depan mereka," ungkap mantan Menko PMK ini.
Baca juga:
- Penghapusan Kewajiban Penyusunan Skripsi dan Kekhawatiran Pelunturan Perangai Ilmiah
- Nadiem Bikin Kebijakan Tidak Wajib Skripsi, Rektor UNS: Bukan Berarti Tanpa Skripsi Bisa Lulus
- Kemendikbudristek Tekankan Skripsi Syarat Lulus S1 Tidak Dihapus
- Ternyata Ini Alasan Nadiem Hapus Syarat Publikasi Jurnal untuk S2 dan S3
Puan menambahkan, merdeka dalam belajar mengacu pada konsep pendidikan yang memberikan kebebasan kepada individu untuk belajar sesuai dengan minat, kemampuan, dan kebutuhan mereka tanpa adanya tekanan atau kendala yang berlebihan.
"Pendekatan ini mendorong eksplorasi, kreativitas, dan pemecahan masalah mandiri. Sehingga para mahasiswa memiliki kontrol lebih besar atas proses pembelajaran mereka, yang dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar," sebut Puan.
Fleksibilitas dalam penentuan syarat kelulusan dapat membantu perguruan tinggi mengakomodasi perubahan dan keberagaman mahasiswa. Puan menilai terobosan itu sesuai dengan era kemajuan zaman.
"Pendidikan tinggi harus responsif terhadap perkembangan zaman. Mungkin ada perguruan tinggi yang mempertimbangkan fleksibilitas dalam syarat kelulusan sebagai langkah untuk mengakomodasi perkembangan terbaru dalam dunia kerja dan teknologi," tuturnya.
Meski begitu, Puan mengingatkan Kemendikbudristek masih memiliki pekerjaan rumah untuk mermpersiapkan mekanisme pengawasan yang efektif dalam penerapan metode syarat kelulusan di tiap perguruan tinggi. Sistem tersebut dibutuhkan untuk memastikan bahwa kualitas lulusan pendidikan tinggi tetap terjaga.
Sebab, ketika setiap kampus memiliki persyaratan yang berbeda, hal ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan dalam pendidikan. Lulusan dari kampus yang lebih mudah atau kurang ketat dalam persyaratannya dapat dianggap kurang berkualitas dibandingkan dengan lulusan dari kampus yang lebih ketat dalam persyaratan.
"Perguruan tinggi yang memiliki syarat kelulusan yang lebih ketat dapat menghasilkan lulusan yang lebih kompeten, sementara yang lain mungkin kurang memiliki kualifikasi yang sebanding. Ini juga akan berpengaruh pada perguruan tinggi di mata pemberi kerja," tandasnya.