Menuntut Ilmu dari Pengalaman China dalam Mengatasi Polusi Udara

JAKARTA - Tiongkok, atau China, pernah dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat pencemaran tertinggi di dunia. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam tiga dekade terakhir telah menjadi pendorong utama polusi udara di negara ini. Kondisi ini khususnya mencuat dalam pola pencemaran di dua puluh kota terburuk di dunia, di mana enam belas di antaranya berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Akibat dari masalah polusi udara yang meluas, Indeks Keberlanjutan Lingkungan di China merosot ke peringkat terendah di dunia.

Wilayah Beijing-Tianjin-Hebei (BTH) yang merupakan tiga pusat ekonomi utama di China mengalami dampak buruk dari polusi udara. Ancaman terhadap kesehatan warga membuat Pemerintah China segera memproklamirkan perang melawan polusi udara. Dalam rentang tujuh tahun, China berhasil membuktikan perubahan nyata, dengan kota-kota yang sebelumnya paling tercemar kini menghirup udara yang lebih sehat.

Data terkait polusi udara dari tahun 2013 hingga 2017, yang dianalisis oleh National Library of Medicine (NLOM), mengungkapkan penurunan emisi polusi di wilayah BTH. Metode evaluasi entropi digunakan untuk memperkirakan emisi, sementara algoritma kuadrat terkecil parsial dan model ekstrapolasi tren hibrida digunakan untuk proyeksi masa depan.

Dalam hal ini, pendekatan STIRPAT (Stochastic Impacts by Regression on Population, Affluence, and Technology) digunakan untuk memahami hubungan antara emisi polusi dan indikator sosial-ekonomi suatu negara. Analisis menunjukkan penurunan emisi polusi udara mencapai puncaknya pada tahun 2015 sebelum kemudian menurun secara fluktuatif namun lambat.

Diperkirakan emisi pencemaran udara pada tahun 2025 akan lebih rendah dibandingkan tahun 2007. Emisi limbah gas industri berperan penting dalam penurunan ini. Meskipun pengaruh emisi debu lebih kecil daripada emisi SO2, namun masih signifikan.

Pertumbuhan ekonomi yang melambat di masa depan diharapkan dapat meningkatkan kualitas udara. Namun, pertumbuhan penduduk yang pesat di Hebei dan Tianjin mungkin menjadi hambatan. Analisis menyarankan bahwa pemerintah harus secara khusus memantau sektor industri bahan bangunan untuk menjaga peningkatan kualitas udara.

Pabrik industri berbasis batu bara dan pembangkit listrik berbahan bakar fosil tidak hanya menghasilkan SO2, tetapi juga NOx, PM2,5, dan Hg yang berkontribusi terhadap polusi udara dan risiko kesehatan manusia.

Seperti pepatah bilang, pengalaman adalah guru terbaik. Kita semua dapat belajar dan mengambil pelajaran dari pengalaman Tiongkok selama tiga dekade dalam menangani polusi udara, sambil menunggu hujan turun. Shanghai dan Beijing telah berhasil mengurangi tingkat pencemaran melalui aturan yang ketat, termasuk pembatasan kendaraan dan aktivitas di luar ruangan untuk kelompok usia tertentu, serta penerapan teknologi yang canggih.

Cara China Mengatasi Polusi Udara

Proses pembersihan polusi udara di Beijing terbagi dalam tiga tahap yang meliputi periode 1998-2008, 2009-2012, dan 2013-2017. Pemerintah Tiongkok fokus pada restrukturisasi sumber energi dalam tiga sektor: industri, transportasi, dan perumahan. Perubahan sumber energi ini diimplementasikan sejalan dengan strategi pengurangan polusi dalam ketiga fase tersebut.

Periode 1998-2008 adalah saat awal identifikasi masalah dan penerapan target selama satu dekade. Tujuan utama adalah menghentikan operasional pabrik-pabrik besar yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi, serta mengalihkan sumber energi pabrik kecil ke opsi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, ribuan bus yang semula menggunakan bensin juga dialihkan ke gas di pusat Beijing dan enam area lainnya, termasuk jalur transportasi antar kota.

China mengadopsi gas alam padat (CNG) sebagai sumber energi pengganti batu bara yang polutan dan telah digunakan selama beberapa dekade oleh berbagai pabrik di Beijing. Dalam fase pertama ini, setidaknya sepuluh pabrik baja dan besi berhenti beroperasi dan beralih ke negara lain, termasuk Indonesia.

Warga Jakarta amat mendambahkan udara yang besir. (Ilham dan Andry Winarko VOI)

Dalam kurun waktu 20 tahun, tingkat sulfur dioksida turun sebanyak 97%, nitrogen dioksida turun 86%, dan partikel halus (PM2,5) turun 98%. Pada periode empat tahun 2013-2017, konsentrasi PM2,5 menurun sebesar 36,8%, dari 98,5 mikrogram per meter kubik menjadi 58 mikrogram per meter kubik, meskipun masih 66% di atas standar yang ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok dan standar WHO.

Setelah merevitalisasi struktur energi di sektor industri, tahap kedua pada 2009-2012 berfokus pada restrukturisasi sumber energi di sektor perumahan. Sumber energi dari batu bara beralih ke gas, dengan harapan akan terjadi penurunan emisi empat polutan udara di Beijing: nitrogen dioksida (N2O) dari kendaraan bermotor, serta partikel PM2,5 dan PM10.

Pada tahap ketiga, 2013-2017, upaya pengurangan polusi ditingkatkan dengan berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan dan mengambil dua polutan tambahan yang perlu dikurangi setelah sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan ozon (O3). Pada tahun 2013, jumlah emisi SO2 mencapai 95.000 ton, N2O sebanyak 218.000 ton, dan total PM2,5 dan PM10 mencapai 349.000 ton. Keempat polutan ini menjadi fokus utama pemerintah Tiongkok karena dampak kesehatan yang signifikan.

Dalam setiap tahap, pemerintah Tiongkok menggabungkan kebijakan perlindungan lingkungan, ekonomi, dan penegakan hukum untuk mengurangi polusi. Upaya perlindungan lingkungan meliputi peralihan ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, penanaman pohon, dan perluasan taman-taman umum. Sementara itu, kampanye kesadaran publik tentang bahaya polusi juga digencarkan, dengan merekrut 10 duta lingkungan untuk mendorong partisipasi masyarakat serta mempromosikan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah.

Terobosan Penanggulangan Polusi Udara di Jakarta

Upaya pemerintah Indonesia untuk mengatasi polusi udara di Jakarta semakin mencerminkan keberhasilan China dalam menangani masalah serupa di Beijing. Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan baru yang menitikberatkan pada kesehatan masyarakat dalam penanganan dan pengendalian polusi udara.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, mengungkapkan bahwa arahan tersebut bertujuan untuk mengatasi akar penyebab polusi di wilayah Jabodetabek, di mana 40 persen berasal dari emisi kendaraan bermotor, 34 persen dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dan sisanya dari sumber lain seperti aktivitas rumah tangga.

"Presiden menegaskan bahwa semua tindakan penanganan dan pengendalian polusi udara harus berpusat pada kesehatan masyarakat. Penyelesaian harus didasarkan pada aspek kesehatan," ungkap Siti Nurbaya.

Langkah-langkah untuk menangani polusi udara di wilayah Jabodetabek akan dipimpin oleh Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Salah satu pendekatan yang akan diterapkan adalah teknik modifikasi cuaca, yang memerlukan kondisi yang tepat untuk memberikan hasil yang efektif.

Kementerian LHK akan secara khusus fokus pada penegakan hukum terhadap sumber-sumber pencemaran, terutama dari sektor industri pembangkit listrik, dan juga pengetatan uji emisi kendaraan.

Siti Nurbaya juga menambahkan bahwa Presiden memerintahkan penanaman pohon-pohon besar di area perkantoran, baik pemerintah maupun swasta, untuk mempercepat penanganan polusi udara di Jakarta. Penanaman pohon ini memiliki pendekatan khusus, di mana jarak antar pohon lebih rapat untuk mengatasi polusi udara.

Upaya penanaman pohon ini akan disertai dengan teknologi modifikasi cuaca untuk menciptakan hujan buatan. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) ini telah terbukti efektif dan memberikan hasil positif di Bogor. Dengan catatan, setelah hujan pada pukul 15.30 WIB, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) PM2,5 turun dari 97 menjadi 29 pada pukul 18.30 WIB, menandakan peningkatan kualitas udara di Bogor.

Langkah lainnya, seperti penegakan hukum terhadap industri yang teridentifikasi sebagai sumber polusi, juga telah dilakukan oleh Kementerian LHK. Dari 161 perusahaan industri yang teridentifikasi sebagai pencemar udara, sebelas di antaranya telah ditindak. Penindakan ini dimulai dari operasi lapangan untuk menegakkan hukum terhadap sumber-sumber pencemaran udara, terutama industri pembangkit listrik.

Siti Nurbaya menegaskan bahwa langkah-langkah ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, dan pihaknya akan terus melakukan tindakan penegakan hukum dan pengetatan pengujian emisi.

Walaupun perbaikan kualitas udara tidak dapat terjadi secara instan, upaya pemerintah ini diharapkan dapat mengatasi polusi udara dan memberikan hasil yang lebih baik bagi Jakarta, mengambil inspirasi dari keberhasilan Beijing dalam mengatasi polusi udara.