Di Balik Kabut Asap yang Menjilat Jakarta

Kota Jakarta, sebagai Ibu Kota Indonesia, kembali terjerat dalam sorotan akibat ancaman polusi udara. Lalu lintas yang padat dan aktivitas industri telah menciptakan lapisan kabut tebal yang menggantung di langit kota ini, menghasilkan dampak negatif yang dirasakan oleh penduduknya.

Kabut asap yang melingkupi kota ini memberi kesan bahwa Jakarta sedang berjuang keras untuk bernafas. Namun, sebenarnya kabut ini adalah akumulasi dari polusi udara yang semakin parah. Kesehatan dan kenyamanan warga terancam oleh masalah ini yang nyata adanya.

Organisasi seperti IQAir dan Indeks Kualitas Udara (AQI) melaporkan data yang mengindikasikan buruknya kualitas udara di Jakarta. Agustus 2023, IQAir menyebut Jakarta sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Indeks AQI juga mengkonfirmasi bahwa tingkat pencemaran udara di Jakarta sudah melewati ambang batas aman. Dua set data ini secara jelas menyoroti bahwa masalah ini tidak dapat lagi diabaikan.

Berdasarkan penelitian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta pada 2020, sektor transportasi menjadi penyumbang terbesar polusi udara di Jakarta, mencapai 67,04 persen. Industri memberikan kontribusi sekitar 26,8 persen, sementara pembangkit listrik hanya 5,7 persen.

Masuk akal karena data dari Polda Metro Jaya mencatat ada 23 juta kendaraan baik roda dua maupun empat pada 2023. Di mana setiap tahun terjadi peningkatan jumlah kendaraan sebesar 2-3 persen.

Polusi udara tidak hanya mengancam kesehatan, tapi juga membawa dampak yang melampaui apa yang terlihat sebagai kabut. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri terkonfirmasi menderita batuk selama empat minggu akibat polusi udara di Jakarta. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, mengungkapkan bahwa udara yang tidak sehat dan berkualitas buruk berdampak pada kondisi kesehatan Presiden.

Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini dengan mengambil langkah-langkah konkret. Upaya termasuk pembuatan hujan buatan untuk mengurangi emisi karbon di atmosfer. Langkah ini diambil oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) sebagai bagian dari upaya mengatasi permasalahan ini. Kemendagri mengimbau kepala daerah di Jabodetabek agar memberlakukan WFH 50 persen bagi ASN-nya.

Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengambil tindakan. KLHK menghentikan kegiatan beberapa perusahaan penyumbang polusi udara di wilayah Jabodetabek dalam upaya mengurangi emisi dan pencemaran udara di wilayah tersebut.

Mengatasi polusi udara di Jakarta adalah tanggung jawab bersama. Masalah ini bukanlah hal baru dan telah berlangsung selama bertahun-tahun. Harus ada pengawasan. Tapi solusi tidak hanya bergantung pada pemerintah dan industri, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat. Mengurangi emisi industri, mendorong transportasi ramah lingkungan, dan menjaga lingkungan adalah langkah penting untuk mengembalikan kualitas udara yang baik. Teknologi ramah lingkungan juga bisa menjadi solusi.

Diperlukan keseriusan dalam menangani masalah ini. Jangan sampai seperti bulan Juni lalu, saat Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mengeluarkan pernyataan yang tidak dapat dianggap serius, bahkan cenderung menggelitik. Pernyataannya bahwa solusi terbaik mengatasi polusi udara di Jakarta adalah "tiup saja udaranya" tidak pantas dari seorang pemimpin. Dalam menghadapi permasalahan serius ini, kita memerlukan pemimpin yang responsif dan bertanggung jawab.