Untung dan Buntung Mendayaguna Ganja

Sepekan belakang, kita telah membahas berbagai persoalan mengenai ganja dan upaya memanfaatkannya di dalam negeri. Dalam artikel sebelumnya, "Ganja dan Agama", kita bahkan telah mendalami bagaimana ganja dalam sudut pandang agama. Artikel pamungkas dari Tulisan Seri khas VOI, "Jangan Panik Ini Organik", lewat artikel ini kita timbang baik buruk pemanfaatan ganja.

Tak sedikit orang yang menggunakan kacamata kuda dalam memandang tanaman ganja. Tanaman lima jari itu hanya dianggap sebagai barang haram yang membawa dampak buruk. Saklek. Padahal, apabila kita mau memandang ganja secara objektif, segudang kegunaan bisa dimanfaatkan untuk keperluan orang banyak. 

Faktanya, Undang-Undang (UU) Nomor 35 tahun 2009 menyertakan ganja ke dalam golongan satu sebagai narkoba yang paling dilarang peredarannya. Hukum Indonesia menyamaratakan ganja dengan jenis zat psikotoprika lain seperti heroin, kokain, morfin, hingga opium. 

Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan ajek menganggap ganja sebagai salah satu sumber masalah di masyarakat. Seperti dikatakan Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Sulistyo Pudjo Hartono. Menurutnya, kalau ganja dilegalkan "maka tindakan amoral akan banyak terjadi," ucapnya kepada VOI beberapa waktu lalu. 

Ucapan Hartono bukan tanpa dasar. Ia pernah membahas persoalan ini dengan otoritas penegak hukum di New Zealand. Dalam bahasan itu, BNN mendapati banyaknya kasus-kasus pidana yang terjadi sebagai buntut penggunaan ganja. Masalah yang ternyata juga terjadi di Amerika.

"Artinya banyak sekali kejadian pidana yang disebabkan karena mengonsumsi ganja sehingga yang bersangkutan menurun moralitasnya, presepsi ruang dan waktu, dan lainnya," beber Hartono.

Pandangan yang sama juga terlontar dari Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Andre Rosiade. Ia mengatakan, penyalahgunaan ganja di tengah masyarakat cukup besar. Oleh karena itu ia tak sepakat jika ganja dilegalisasi.

"Kalau kita buka ruang itu (legalisasi ganja) di Indonesia, ini potensi penyalahgunaannya itu luar biasa," kata Andre.

Baik Hartono maupun Andre sama-sama menyinggung ganja dari perspektif moralitas. Dalam konteks lain, ganja konon juga memiliki dampak buruk bagi kesehatan jika digunakan secara membabi buta.

Menurut Samuel T. Wilkinson dalam karya tulis berjudul More Reasons States Should Not Legalize Marijuana: Medical and Recreational Marijuana: Commentary and Review of the Literature yang diterbitkan jurnal Missouri Medicine (2013) menjelaskan, ganja terbukti bisa menyebabkan risiko penyakit gangguan mental skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya.

Menurutnya efek negatif tersebut lebih terasa pada remaja. "Risiko gangguan psikotik lebih jelas ketika ganja digunakan pada usia lebih dini," tertulis. 

Manfaat medis ganja

Di mata UU, segala narkotika dalam golongan satu, termasuk ganja, tak boleh dimanfaatkan untuk apapun. Padahal, masih ada manfaat yang terkandung dalam ganja. Salah satunya untuk medis. Ganja mungkin bisa dibilang seperti punya dua sisi mata pedang.

Ia bisa menjadi negatif apabila digunakan secara berlebihan. Namun, faktanya kita juga tak bisa menutup mata manfaat medis dari marijuana. Seperti diketahui ganja mengandung senyawa cannabidiol (CBD) yang efektif untuk menyembuhkan penyakit. Salah satunya epilepsi.

Menurut peneliti ganja dari Western Washington University Joshua Kaplan seperti dikutip HowStuffWorks menjelaskan, CBD bekerja mengaktifkan reseptor serotonin yang berperan penting mengobati kecemasan.

Menariknya, CBD identik endocannabinoid, senyawa kimia yang secara alami diproduksi di dalam otak manusia. Endocannabinoid memberi pengaruh besar dalam mengontrol motorik, kognisi, emosi, hingga perilaku seseorang.

Di Indonesia, salah satu orang yang berhasil membuktikan bahwa ganja mengandung manfaat untuk kesehatan adalah Fidelis. Ia merawat istrinya, Yeni Riawati yang menderita penyakit sumsum tulang belakang (syringomyelia).

Karena penyakitnya itu Yeni mengalami kondisi yang memprihatinkan. Ia mengalami sulit tidur, dan masalah buang air hingga perutnya membesar. 

Selain itu Yeni juga mengalami susah makan. Apapun makanan yang ditelan akan dimuntahkan kembali. Yeni juga menderita luka di pinggang tengah bagian belakang. Luka yang cukup dalam hingga tulang Yeni terlihat.

Ganja mengubah keadaan tersebut. Sejak diobati dengan ekstrak ganja, Yeni bisa tertidur pulas. Selain itu, nafsu makan Yeni meningkat. Ia tak lagi memuntahkan makanannya. Pencernaan Yeni juga membaik. Buang air kecil ataupun besar kembali lancar.

Lebih ajaib, lubang-lubang pada luka-luka Yeni pun menutup dengan tumbuhnya daging-daging baru di tubuh Yeni. Sejak pengobatan ganja, Yeni juga mulai bisa berkomunikasi kembali, bahkan bernyanyi.

Namun upaya perawatan Yeni harus terputus sebab suami yang merawatnya, Fidelis, dibekuk BNN setelah ia ketahuan menanam ganja di rumahnya. Beberapa pekan setelah penangkapan Fidelis, 25 maret 2017, Yeni meninggal dunia.

Manfaat ekonomi ganja

Orang yang sudah membuktikan manfaat dari ganja itu adalah anak dari penyanyi reggae Bob Marley yakni Damian Marley. Melihat manfaat itu, ia membuka bisnis ganja legal untuk keperluan medis. Ia menggarap 77.000 kaki persegi lahan bekas penjara di California menjadi perkebunan ganja.

Perkebunan ganja itu membuka ladang pekerjaan untuk narapidana yang dibui karena kasus menanam dan menjual ganja. Damian Marley bukan hanya berhasil mendatangkan manfaat berupa ekonomis, tapi juga menghadirkan obat untuk membantu warga California yang menderita berbagai penyakit.

Selain itu, Damian juga memiliki saham di perusahaan pengujian ganja medis Israel, Stony Hill Corp. Perusahaan ini memulai lini produk cannabidiol (CBD) yang terbuat dari ganja yang disebut Stony Hill CBD. CBD lebih mudah diakses daripada produk turunan ganja lainnya.

Harganya murah meskipun manfaat kesehatan dan kesejahteraannya bisa dibilang sama. WHO sendiri menyatakan bahwa CBD tidak menunjukkan efek yang mengindikasikan adanya penyalahgunaan atau potensi ketergantungan. CBD telah ditunjukkan sebagai pengobatan epilepsi yang efektif dalam beberapa uji klinis. 

Selain Damian, legenda tinju dunia, Mike Tyson juga terjun ke bisnis pengelolaan ganja. Skala bisnisnya tidak main-main. Pria yang berjuluk 'Iron Mike' membuka sebuah ladang ganja seluas 420 hektare. Bisnis ganja tersebut terkenal dengan nama 'Tyson Ranch'. 

Dari bisnis ganjanya tersebut, Tyson meraup keuntungan cukup besar. Dalam sebulan ia dapat mendapatkan hingga 500 dolar AS atau sekitar Rp7,1 miliar. Ketika lahan ganja tersebut dibuka di El Segundo, California, Tyson Ranch menawarkan hotel mewah, toko ritel, amfiteater untuk festival musik, dan fasilitas kemping mewah lainnya.

Selain itu, di area ladang ganja tersebut disebut-sebut akan dibangun Universitas Tyson, universitas yang akan mempersiapkan calon petani ganja agar dapat menanam ganja di tanah mereka sendiri dengan baik.

Di Indonesia, wacana mengekspor ganja ditentang. Tak mengejutkan. Sejak dulu, niat politik pemerintah untuk mendayaguna ganja bagi negara tak pernah berubah. Jangankan membuat kebijakan pemanfaatan. Upaya riset yang telah diajukan Lingkar Ganja Nusantara (LGN) --sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada riset budaya ganja Nusantara-- bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun nyatanya tak pernah berjalan.

Padahal, pengetahuan amat penting untuk menentukan arah kebijakan. Tanpa pengetahuan, apa yang diharapkan? "Untuk mengekpor barang jadi ini kan sebenarnya butuh, tanaman ganja di Aceh itu harus dikelola untuk mengelola ini jelas butuh strategi dong, kalau kita ingin memberikan devisa untuk negara,"  kata Dhira Narayana, Ketua LGN, dihubungi VOI beberapa waktu lalu.

Yang untung dari ilegalisasi ganja

Dhira Narayana, Ketua LGN mempertanyakan landasan pikiran kenapa otoritas di Indonesia amat anti terhadap wacana pemanfaatan ganja. Jangankan melegalisasi. Melakukan riset pun otoritas anti. Padahal, menurut Dhira, tak ada alasan bagi Indonesia menetap pada UU 35/2009 yang usang. Sebab, sejatinya konvensi PBB memberikan keleluasaan bagi setiap negara untuk mengatur pengelolaan tanaman ganja mereka sendiri.

Hal itu yang kemudian dilakukan negara-negara maju. Mereka sadar, poin terpenting dari legalisasi ganja adalah memindahkan kuasa peredaran ganja dari pasar gelap ke negara. Uruguay, misalnya. Sejak Juli 2017 Uruguay resmi jadi negara pertama dunia yang melegalkan ganja secara penuh. Di Uruguay, konsumsi ganja diselubungi berbagai aturan baku terkait siapa dan bagaimana konsumsi ganja yang diperbolehkan secara hukum. Di sana, para pengguna ganja harus mendaftar secara resmi ke pemerintah. Pun ketika membeli ganja.

Setiap orang harus melakukan pemindaian sidik jari. Hal tersebut dilakukan untuk mengontrol jumlah kuota pembelian ganja oleh orang per orang. Angka yang ditetapkan pemerintah Uruguay adalah 40 gram per bulan. Eduardo Blasina, pendiri Museum Montevideo Cannabis menyebut hal ini sebagai langkah maju sekaligus tanggung jawab besar bagi negara.

Namun, tak ada pilihan lain. Selain perkara pemasukan, legalisasi ganja adalah cara pemerintah menekan dominasi kartel dan mafia narkoba di pasar gelap. “Tanggung jawab besar yang kita miliki di Uruguay adalah untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sistem kebebasan dengan peraturan ini bekerja lebih baik daripada larangan,” kata Eduardo dikutip New York Times.

Seperti Uruguay. Indonesia memiliki catatan kelam soal keterlibatan otoritas hukum di pasar gelap. Pada masa konflik di Aceh, alur perdagangan ganja dari Aceh amat masif. Tak cuma kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memanfaatkan ganja sebagai sumber pendanaan mereka, laporan yang dirilis Transnational Institute juga mencatat keterlibatan polisi dan tentara dalam perdagangan gelap ganja.

Sebuah laporan mengungkap kasus di mana seorang pilot helikopter polisi ditangkap setelah terbang dengan 40 kilogram ganja yang diakuinya akan dikirim kepada kepala kepolisian di Kabupaten Aceh Besar. Lainnya, di tahun 2002, sebuah truk tentara dicegat setelah melintas melalui Binjai, Sumatera Utara dengan muatan 1.350 kilogram ganja. Pencegatan itu memicu baku tembak antara polisi dan militer, di mana enam polisi dan satu tentara tewas.

Jadi, mana yang baik?

Ikuti seluruh artikel dari Tulisan Seri edisi ini: Jangan Panik Ini Organik