Mereka yang Diuntungkan dari Ilegalnya Ganja

Dalam artikel "Hasan Tiro dan Asas Manfaat Ganja Aceh dalam Periode Konflik GAM", kita telah melihat bagaimana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memanfaatkan ganja sebagai sumber pendanaan mereka. Dalam periode konflik itu, sejumlah laporan juga mengungkap keterlibatan polisi dan tentara dalam perdagangan gelap ganja. Bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Jangan Panik Ini Organik". Lewat artikel ini, kita bahas lebih dalam soal siapa yang sejatinya diuntungkan dari ilegalisasi ganja.

Pada 2004, diperkirakan 30 persen ganja yang beredar di Asia Tenggara berasal dari Aceh. Sayang, semuanya beredar di bawah kuasa pasar gelap. Negara gagal mengambil sedikit pun manfaat dari potensi ekonomi itu. Hari ini, dorongan agar negara mengambil manfaat dari ganja kembali mencuat, beriring dorongan penolakan terhadap wacana itu. Sebenarnya, siapa yang diuntungkan dari ilegalnya ganja? Berbagai temuan yang kami dapatkan barangkali bisa memberi gambaran.

Berangkat dari konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1961. Kala itu, PBB menetapkan sebuah produk hukum yang wajib diratifikasi oleh Indonesia dan negara-negara anggota PBB lainnya. Produk hukum itu diharapkan jadi landasan bagi negara-negara dunia dalam upaya memberantas penyalahgunaan narkotika. Bagi Indonesia, ratifikasi itu otomatis mencabut hukum kolonial Verdoovende Middelen Ordonnantie yang sebelumnya berlaku, digantikan dengan UU 9/1976.

Sejak itu, pemidanaan terhadap pengguna narkoba dimulai. Ganjarannya tak main-main. Dari penjara hingga tiket ke alam baka. Setelahnya, Indonesia kembali mengubah hukum nasional tentang narkotika. Acuannya sama: konvensi PBB. Perubahan pertama adalah pengesahan konvensi PBB tentang Psikotropika tahun 1971. Ratifikasi itu diadopsi ke dalam pemberlakuan UU 5/1997 tentang Psikotropika.

Selanjutnya, berbekal hasil konvensi PBB tahun 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotik dan Psikotropika, Indonesia melakukan perubahan terhadap UU 5/1997 menjadi UU 22/1997 tentang Narkotika. Terakhir, Indonesia mengubah UU 22/1997 ke dalam UU 35/2009 tentang Narkotika. Perubahan terakhir inilah --notabene masih berhaluan pada konvensi PBB 1988-- yang jadi landasan hukum pemberantasan narkotika hingga hari ini, di mana ganja disertakan ke dalam golongan satu bersama heroin, kokain, serta sabu.

Selain itu, perubahan tersebut juga menetapkan Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga negara yang khusus menangani pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Pemberatan hukuman juga diberlakukan berdasar UU ini. Yang jadi ironi, ketika negara-negara pemegang hak veto --mulai dari Inggris, Amerika Serikat, hingga China-- mulai melegalisasi ganja, Indonesia justru tak pernah bergerak dari sudut pandang usang ini.

Dikutip dari buku Hikayat Pohon Ganja (2011) yang disusun oleh Lingkar Ganja Nusantara (LGN), digambarkan kondisi lantai bisnis ganja serta kaitannya dengan ilegalisasi tanaman lima jari. Ganja adalah ancaman bagi banyak industri lain yang lebih dulu eksis. Sebut saja farmasi, bahan bakar, hingga tekstil. Seperti diketahui, ganja memiliki berbagai manfaat, dari bunga hingga biji dan akarnya.

“Apabila komoditas dasar seperti sandang, pangan, dan papan masih ditentukan oleh monopoli dan oligopoli eksklusif dari segelintir korporasi, di samping pasar itu sendiri dalam hal produksi dan permintaan, yang terjadi adalah negera-negara produsen komoditi justru akan mengalami kemiskinan yang parah,” tertulis.

“Terutama bila negara tersebut membiarkan perusahaan swasta atau asing --yang biasanya hanya menaruh sedikit sekali perhatian soal kesejahteraan masyarakat luas-- dengan bebas menguasai hajat hidup masyarakatnya, dalam kasus ini, dengan memanipulasi tanaman-tanaman komoditas ekonomi.”

Ilustrasi foto (Ondrej Janovec/Pixabay)

Latar belakang inilah yang berperan besar menjadikan ganja sebagai tanaman terlarang dan ditakuti oleh seluruh dunia. Landasan pemikirannya, pemanfaatan ganja akan mendorong peralihan bahan baku dari berbagai industri. Propaganda penuh ketakutan ini jadi mainan negara-negara adidaya. Mereka mencegah negara-negara lain memanfaatkan ganja --termasuk Indonesia yang notabene memiliki potensi ganja besar-- selagi mereka membangun industri ganja mereka sendiri.

Tujuan akhirnya, tak lain adalah memonopoli pasar ganja seluas-luasnya. Hal itu yang terjadi hari ini. Lihatlah Amerika Serikat (AS). Hingga Oktober tahun lalu, AS telah meregulasi ulang kebijakan ganja. 46 negara bagian AS telah melegalisasi pemanfaatan ganja untuk berbagai macam tujuan. Dari keperluan medis hingga rekreasi macam yang ditetapkan diberlakukan di Washington DC, Alaska, California, Coloradi, Maine, Massachusetts, Nevada, Oregon, hingga Vermont.

Negara pemegang hak veto lainnya, Inggris juga telah mengubah jauh haluan kebijakan narkotikanya. Inggris kini adalah salah satu negara dengan pasar penjualan cannabis yang terbilang besar. Biji ganja jadi komoditas yang mencatatkan permintaan tertinggi. Meski begitu, Inggris belum sepenuhnya mereformasi keberadaan ganja dalam UU Narkotika mereka. Maka, meski diperjualbelikan, penggunaan ganja tak dapat dilakukan secara luas.

Di Asia, China jadi salah satu negara yang paling berhasil mendayagunakan ganja. Data World Intellectual Property Organization (WIPO) mencatat, Negeri Tirai Bambu mendominasi paten ganja dengan jumlah 309 dari 606 paten yang tercatat di data WIPO. Negara Asia lainnya, Thailand telah mengikuti langkah China dalam mendayaguna ganja. Di Negeri Gajah Putih, legalisasi ganja ditujukan untuk perkara medis. Tetangga yang paling dekat, Malaysia juga tengah gencar menuju legalisasi ganja medis.

Di Indonesia

Di Indonesia, upaya memanfaatkan ganja telah dilakukan. Bukan hanya LGN dengan segala riset dan observasi pada budaya ganja nusantara. Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) bersama sejumlah lembaga sosial masyarakat lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil maju ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan uji UU 35/2009.

Salah satu poin yang dikejar adalah mengeluarkan ganja dari golongan satu narkotika, bersama heroin, kokain, morfin, hingga opium. Narkotika golongan satu adalah yang paling berbahaya. Di mata UU, segala narkotika dalam golongan ini tak boleh dimanfaatkan untuk apapun. Maka, mengeluarkan ganja dari golongan satu adalah langkah awal dari pendayagunaan tanaman lima jari.

"Kemudian pelarangan narkotika untuk golongan apapun itu, untuk kepentingan medis, itu menurut kami melanggar hak konstitusional setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan," kata Maruf kepada VOI, beberapa waktu lalu.

Ilustrasi foto (Siraj Ahmad/Pixabay)

Bagi LGN sendiri, mereka telah mengajukan kolaborasi penelitian ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sayang, sejak diajukan bertahun-tahun lalu, penelitian tak kunjung berjalan. Badan Narkotika Nasional (BNN) yang paling mungkin menyediakan ganja untuk penelitian menolak terlibat. BNN berpegang pada Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa ganja sebagai narkotika golongan satu tak dapat dimanfaatkan untuk perihal apapun, termasuk medis. BNN bahkan memiliki versi berbeda, bahwa ganja justru merusak kesehatan.

Entah peneliti mana yang dimaksud BNN. Yang jelas, lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (AS), Food and Drug Administration (FDA) telah menyatakan kandungan cannabidiol atau CBD dalam tanaman ganja mampu dimanfaatkan menjadi obat kejang akibat epilepsi. Mengutip tulisan CNN Indonesia yang melansir HowStuffWorks, Joshua Kaplan, peneliti ganja dari Western Washington University menyebut CBD sebagai senyawa yang sangat selaras dengan kerja tubuh manusia.

CBD bekerja mengaktifkan reseptor serotonin yang berperan penting mengobati kecemasan. Menariknya, CBD identik endocannabinoid, senyawa kimia yang secara alami diproduksi di dalam otak manusia. Endocannabinoid memberi pengaruh besar dalam mengontrol motorik, kognisi, emosi, hingga perilaku seseorang. Artinya, setiap orang memiliki "ganja" di dalam dirinya masing-masing. "Sistem serotonin berperan penting untuk mengobati kecemasan," kata Kaplan.

Preseden aparat di pasar gelap

Dhira Narayana, Ketua LGN mempertanyakan landasan pikiran kenapa otoritas di Indonesia amat anti terhadap wacana pemanfaatan ganja. Jangankan melegalisasi. Melakukan riset pun otoritas anti. Padahal, menurut Dhira, tak ada alasan bagi Indonesia menetap pada UU 35/2009 yang usang. Sebab, sejatinya konvensi PBB memberikan keleluasaan bagi setiap negara untuk mengatur pengelolaan tanaman ganja mereka sendiri.

Hal itu yang kemudian dilakukan negara-negara maju. Mereka sadar, poin terpenting dari legalisasi ganja adalah memindahkan kuasa peredaran ganja dari pasar gelap ke negara. Uruguay, misalnya. Sejak Juli 2017 Uruguay resmi jadi negara pertama dunia yang melegalkan ganja secara penuh. Di Uruguay, konsumsi ganja diselubungi berbagai aturan baku terkait siapa dan bagaimana konsumsi ganja yang diperbolehkan secara hukum. Di sana, para pengguna ganja harus mendaftar secara resmi ke pemerintah. Pun ketika membeli ganja.

Setiap orang harus melakukan pemindaian sidik jari. Hal tersebut dilakukan untuk mengontrol jumlah kuota pembelian ganja oleh orang per orang. Angka yang ditetapkan pemerintah Uruguay adalah 40 gram per bulan. Eduardo Blasina, pendiri Museum Montevideo Cannabis menyebut hal ini sebagai langkah maju sekaligus tanggung jawab besar bagi negara.

Ilustrasi foto (Skitz_Cz/Pixabay)

Namun, tak ada pilihan lain. Selain perkara pemasukan, legalisasi ganja adalah cara pemerintah menekan dominasi kartel dan mafia narkoba di pasar gelap. “Tanggung jawab besar yang kita miliki di Uruguay adalah untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sistem kebebasan dengan peraturan ini bekerja lebih baik daripada larangan,” kata Eduardo dikutip New York Times.

Seperti Uruguay. Indonesia memiliki catatan kelam soal keterlibatan otoritas hukum di pasar gelap. Pada masa konflik di Aceh, alur perdagangan ganja dari Aceh amat masif. Tak cuma kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memanfaatkan ganja sebagai sumber pendanaan mereka, laporan yang dirilis Transnational Institute juga mencatat keterlibatan polisi dan tentara dalam perdagangan gelap ganja.

Sebuah laporan mengungkap kasus di mana seorang pilot helikopter polisi ditangkap setelah terbang dengan 40 kilogram ganja yang diakuinya akan dikirim kepada kepala kepolisian di Kabupaten Aceh Besar. Lainnya, di tahun 2002, sebuah truk tentara dicegat setelah melintas melalui Binjai, Sumatera Utara dengan muatan 1.350 kilogram ganja. Pencegatan itu memicu baku tembak antara polisi dan militer, di mana enam polisi dan satu tentara tewas.

Ikuti Tulisan Seri edisi ini: Jangan Panik Ini Organik