Hasan Tiro dan Asas Manfaat Ganja Aceh dalam Periode Konflik GAM
Artikel "Budaya Ganja Nusantara: Dari Kesehatan hingga Spiritualitas" telah membahas eratnya kehidupan masyarakat Indonesia dengan ganja dari generasi ke generasi. Aceh, bagaimanapun adalah wilayah yang mengadopsi begitu banyak budaya ganja ke dalam kehidupan mereka. Pun dalam gerakan yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kelompok penuntut kemerdekaan Aceh itu memanfaatkan ganja untuk mendanai pergerakan mereka. Hasan Tiro adalah tokoh di balik gagasan ini. Mari kita lanjutkan Tulisan Seri khas VOI, "Jangan Panik Ini Organik".
Bicara ganja, Aceh adalah wilayah Nusantara yang paling identik. Penduduk tanah berjuluk Serambi Makkah telah akrab dengan tanaman ganja sejak berabad-abad lamanya. Mereka memanfaatkan tanaman ganja untuk berbagai keperluan hidup sehari-hari, mulai dari bumbu masak, obat herbal, hingga pestisida alami.
Masyarakat Aceh yang kehidupannya kuat berlandas hukum Islam bahkan tak merasa harus menjauhi ganja. Hal ini karena pada saat itu umumnya masyarakat Aceh abad ke-16 dan abad ke-17 merujuk kepada kitab Tajul Muluk atau kitab Mujarobat yang memuat substansi tentang pemanfaatan ganja secara medis.
Budayawan Aceh, Tungang Iskandar yang lahir dan besar di Aceh menuturkan sejarah itu. Ia juga menegaskan pandangan masyarakat Aceh terhadap ganja dalam konteks agama. “Ganja itu kan haram karena penyalahgunaannya. Berarti kalau dibenargunakan kan bisa lain ceritanya," tutur Tungang dihubungi VOI beberapa waktu lalu.
"Islam itu kan segalanya untuk kebaikan. Nah, mari kita kaji dan bersikap untuk segala sesuatu persoalan yang masih abu-abu, yaitu dengan mendukung segala sesuatu yang memang banyak manfaatnya dan menolak sesuatu yang memang banyak buruknya,” tambah Tungang.
Memasuki zaman Hindia Belanda, tepatnya abad ke-19, hampir seluruh petani di Aceh menanam ganja. Dikutip dari laman resmi Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Para petani di Aceh menanam pohon ganja untuk menghalau hama dari tanaman lain yang mereka tanam. Bahkan, masyarakat Aceh kala itu mengenal ganja sebagai "lako kopi", yang artinya suami dari tanaman kopi.
"Lako itu laki, pria atau suami. Kopi itu, tanaman kopi. Tanaman ganja itu dapat predikat laki kopi atau suaminya tanaman kopi. Jadi, dia itu melindungi si tanaman kopi dari hama-hama atau serangan-serangan dari luar," tutur Dhira Narayana, Ketua LGN, dalam wawancaranya bersama Fresher Globe beberapa waktu silam.
"Makanya, kalau di Aceh itu tanaman kopi rasanya sangat lezat, tidak ada hamanya, karena hama-hama itu lebih memilih tanaman ganja. Makanya ganja ini disebutnya tanaman suami. Hampir sebetulnya untuk seluruh tanaman. Karena fungsinya dia sebagai pestisida alami," tambah Dhira.
Keakraban ganja dengan masyarakat Aceh dan mayoritas masyarakat di wilayah Nusantara lainnya harus dibatasi seiring penerapan dekrit narkotika atau verdoovende middelen ordonnantie tahun 1927. Aturan itu kemudian diperbarui lewat sejumlah ratifikasi dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 1961, 1971, dan 1988.
Ganja Aceh mendunia (GAM)
Budidaya ganja di Aceh kerap dikaitkan dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak diproklamirkan pada 4 Desember 1976, kelompok yang ingin mengembalikan masa kejayaan Aceh sebagaimana ketika berdiri sendiri sebagai kesultanan itu memanfaatkan ganja untuk mendanai pergerakan mereka. Hasan Tiro, pemimpin pergerakan jadi yang paling berperan dalam hal ini.
Sejak itu, Hasan Tiro memanfaatkan ganja sebagai sumber dana. Laporan Human Right Watch berjudul Indonesia Human Rights Abuses in Aceh tahun 1990 menjelaskan sumber pendanaan GAM dari berbagai sumber, mulai dari dana diaspora dari luar negeri, uang pajak sumbangan perjuangan sukarela rakyat Aceh, penjualan kayu, hingga memungut pajak dari para petani ganja dan menguasai perdagangan ganja melalui kerja sama dengan gembong narkoba di luar Aceh.
Pemanfaatan ganja makin gencar dilakukan GAM ketika pemerintah Indonesia menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM) di kurun waktu 1989 hingga 1998. Operasi dengan sandi "Jaring Merah" itu digelar untuk memburu pasukan GAM di seluruh pelosok Aceh. Secara otomatis, kondisi ini membuat GAM mengeluarkan dana lebih banyak dari sebelumnya.
Satu tahun sebelum penetapan DOM, tepatnya tahun 1988, para pemimpin distrik GAM ditangkapi dan dilaporkan atas pengelolaan berhektare-hektare ladang ganja. Ladang itu konon digunakan sebagai sumber uang operasi GAM. Namun, banyak keraguan tentang kebenaran tersebut. Karenanya, pada 1989, tentara bergerak lewat Operasi Nila I. Operasi dilakukan untuk memberangus ganja dari GAM.
Praktik GAM menjadikan ganja sebagai sumber pndanaan juga tercatat dalam buku Kopassus untuk Indonesia karya Iwan Santosa dan EA Natanegara. Dalam buku itu, keduanya mengisahkan penyamaran Sersan Badri --bukan nama sebenarnya-- yang ditugaskan masuk menjadi anggota GAM pada tahun 2003. Dalam laporan tugasnya itu, Sersan Badri berhasil menelusuri salah satu pendanaan GAM yang berasal dari penjualan ganja kering yang berasal dari Aceh Utara dan Aceh Timur.
Menurut penelusuran Sersan Badri, ganja kering tersebut diselundupkan lewat jalur laut Malaysia. Pengamatan Sersan Badri diperkuat dengan temuan ladang ganja milik GAM di kawasan Desa Makmur, Aceh Besar pada Juli 2003. Dalam laporan Liputan6.com, dijelaskan bagaimana ladang tersebut hanya sebagian kecil dari ribuan hektare ladang ganja lain yang dikuasai GAM.
Mardigu Wowiek, seorang pengamat terorisme memperkuat pandangan ini. Dalam gerakan pemberontakan, kelompok-kelompok separatis kerap memanfaatkan sumber daya lokal untuk mendanai pergerakan mereka. Pun untuk GAM dan ganja. "Ganja bisa saja jadi sumber dana para teroris Aceh. Untuk operasi yang membutuhkan dana sangat besar, saya sangat percaya, ladang ganja menjadi sumber dananya," kata Mardigu, dikutip dari Kompas.com, 2010 lalu.
Bagaimanapun, masih sulit mengaitkan secara langsung budidaya ganja Aceh dengan gerakan GAM. Bahwa salah satu sumber pendanaan GAM diambil dari pemanfaatan ganja adalah benar. Namun, ada sumber pendanaan lain yang lebih dominan dalam mendanai pergerakan GAM. Kesimpulan itu ditulis dalam laporan Transnational Institute.
Laporan itu membulatkan satu kesimpulan menarik bahwa ganja merupakan salah satu bentuk eksploitasi sumber daya yang terjadi. Para petani ganja ditekan sebagaimana para petani kopi dan nelayan lokal diperas. Lagipula, eksploitasi ganja dalam konteks konflik Aceh teramat kompleks. Sebab, dalam periode konflik, tak cuma GAM yang tertangkap dengan ganja. Polisi hingga tentara mencatatkan kasus-kasus yang melibatkan mereka dalam praktik perdagangan gelap tanaman ganja.
Entahlah, yang jelas, dalam periode itu kita dapat melihat jelas bagaimana ganja Aceh mendunia. Pada tahun 2004, diperkirakan 30 persen ganja di Asia Tenggara berasal dari Aceh. Sayang, semuanya beredar di bawah kuasa pasar gelap. Negara gagal mengambil manfaat sedikit pun dari potensi itu.
Artikel Selanjutnya: Mereka yang Diuntungkan dari Ilegalnya Ganja