Eksklusif, Ketum Apindo Shinta Widjaja Kamdani Berharap Meski Ada Pesta Demokrasi Namun Situasi Tetap Stabil  

Suhu politik mulai hangat meski pesta demokrasi digelar tahun 2024. Bagi pengusaha, kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, silahkan saja para politisi bertarung berebut simpati rakyat, silahkan saja rakyat berpesta menyalurkan aspirasi politiknya. Yang menjadi concern mereka adalah keamanan, kestabilan yang membuat iklim berusaha bisa berjalan lancar.

***

Dalam istilah yang dikemukakan Pemilik dan juga Chief Executive Officer (CEO) Sintesa Group ini  geliat politik silahkan terjadi, namun kegiatan politik itu harus dilakukan secara dewasa. Dalam arti tidak mengganggu kegiatan ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

“Kita membutuhkan kestabilan politik dan keamanan untuk menjamin iklim kerja yang baik. Sebentar lagi kita akan menghadapi pesta demokrasi, pemilu. Harapan kami pesta demokrasi itu adalah ajang bertanding untuk bersanding. Silahkan berkompetisi namun ending-nya bisa bersama-sama membangun negeri ini,” harapnya.

Apa yang dikemukakan Shinta Widjaja Kamdani sejatinya adalah soal kesinambungan usaha. Dalam konteks yang sama sebagai pucuk pimpinan Apindo ia menekankan pula soal visi utama Apindo yang menekankan soal menciptakan lapangan pekerjaan, faktor iklim usaha yang kondusif, kompetitif, dan berkelanjutan.

Semuanya masih dalam dalam satu napas yang sama yaitu keberlanjutan dan dalam program kerja Apindo periode 2023 – 2028 ia memasukkan unsur stunting.  “Stunting ini penting agar kita bisa mendapatkan SDM yang berkualitas. Bagaimana kita mau mencapai Indonesia Emas kalau masih banyak anak Indonesia terkena malnutrisi dan juga stunting. Jadi masalah stunting ini tak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk menurunkannya,” tukasnya.

Program yang akan dilaksanakan Apindo untuk  membantu pemerintah menurunkan prevalensi stunting di Indonesia melalui KIPAS STUNTING (Kolaborasi Inklusif Pengusaha Indonesia Atasi Stunting).  “Kita mau menargetkan angka stunting turun menjadi 21 persen sedangkan pemerintah memasang target 14 persen,” ujarnya kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos, Rifai dan Irfan Medianto dari VOI yang menemuinya di Menara DUTA, Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, belum lama berselang. Inilah petikannya.

Dalam kepengurusan Apindo 2023 – 2028 sebagai Ketum Shinta Widjaja Kamdani memasukkan stunting sebagai salah satu program strategis. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Sebagai Ketua Umum baru Apindo menggantikan Hariyadi Sukamdani, apa saja program kerja yang akan direalisasikan selama masa kepengurusan 2023 - 2028?

Saya bergabung di Apindo sudah lebih dari 20 tahun. Untuk meneruskan kepemimpinan Pak Hariyadi Sukamdani, juga sudah ada persiapan. Visi utama Apindo yang kami ajukan adalah menciptakan lapangan pekerjaan, faktor iklim usaha yang kondusif, kompetitif, dan berkelanjutan.

Untuk misi, kami fokus pada ketenagakerjaan, investasi, UMKM, dan advokasi. Dalam soal ketenagakerjaan ini dengan semua unsur-unsur, seperti hubungan industrial, pelatihan, dll. Kami juga fokus pada UMKM, karena 95 persen ekonomi Indonesia adalah UMKM. Dari pengembangan usaha, jejaring, kita ingin mereka naik kelas dan berkelanjutan. Lewat UMKM ini kita ingin menimbulkan wirausaha-wirausaha baru. Kita juga ingin mempertahankan dan mengembangkan investasi agar tidak pindah ke negara lain. Dan kita juga memberikan masukan kepada pemerintah dan melakukan advokasi dalam hal regulasi yang dikeluarkan.

Mengapa stunting jadi perhatian dan masuk dalam salah satu program yang akan Anda jalankan?

Saya mau sharing dulu ada empat program kerja unggulan dari Apindo. Yang pertama adalah soal Roadmap Perekonomian. Setiap lima tahun kami menyiapkan roadmap perekonomian yang disusun bersama asosiasi terkait. Sebentar lagi akan ada pemilu yang akan menghasilkan pemimpin baru. Yang kedua adalah UMKM Merdeka, yaitu program pendampingan usaha untuk meng-scale up UMKM Indonesia yang juga berfungsi mempersiapkan mahasiswa agar siap untuk dunia kerja. Jadi ada kolaborasi dengan kampus, UMKM, dan perusahaan. Program ini sudah bergulir di 4 provinsi di Indonesia. Lalu ada program sertifikasi, ini untuk memajukan hubungan industrial. Kami membuat pelatihan untuk mengeluarkan sertifikat ini.

Nah soal stunting, mengapa penting dan menjadi program unggulan Apindo?

Ini berhubungan dengan SDM. Stunting itu dimulai dari usia dini dan bahkan sejak ibu hamil harus diperhatikan agar anaknya lahir nanti tidak stunting. Yang membuka mata kami adalah sebuah pemberitaan yang mengatakan bahwa 68 persen orang Indonesia mengalami malnutrisi. Lalu stunting di tahun 2017 angkanya mencapai 29,6 persen. Tahun 2022 angkanya sudah turun menjadi 24 persen. Kita mau menargetkan menjadi 21 persen sedangkan pemerintah memasang target 14 persen.

Apa yang dilakukan Apindo untuk menekan angka stunting ini?

Kita menggalang pelaku usaha lewat program KIPAS STUNTING (Kolaborasi Inklusif Pengusaha Indonesia Atasi Stunting). Kami mengajak pelaku usaha untuk mengatasi hal ini dengan program preventif dan intervensi. Dari mulai ibu hamil dibutuhkan nutrisi yang cukup agar anaknya tidak lahir stunting. Lalu berlanjut ke ibu menyusui sampai ke baduta (bayi di bawah dua tahun). Stunting ini penting agar kita bisa mendapatkan SDM yang berkualitas. Bagaimana kita mau mencapai Indonesia Emas kalau masih banyak anak Indonesia terkena malnutrisi dan juga stunting. Jadi masalah stunting ini tak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk menurunkannya. Kita sebagai pelaku usaha yang menggunakan SDM juga harus ikut serta dan mendapat perhatian sejak dini. Kalau di SDG's Goals ada di tujuan nomor 2 yaitu zero hunger (tanpa kelaparan).

Bagaimana dengan wacana cuti hamil selama 6 bulan yang sempat disuarakan Puan Maharani beberapa waktu yang lalu?

Saya kira enggak directly related, karena persoalan stunting pada persoalan malnutrisi dan ibu hamil serta ibu menyusui serta baduta. Soal menyusui sekarang perusahaan sudah menyediakan tempat untuk ibu menyusui, ruang laktasi, penitipan anak, dll. Ini sudah disiapkan oleh banyak gedung dan perusahaan. Sudah banyak pula sistem kerja yang memungkinkan para perempuan untuk punya waktu yang berkualitas dengan anaknya. Jadi enggak harus ada perpanjangan cuti enam bulan. Harus ada alasan mengapa hal itu diberlakukan, apakah karena kondisi ibu atau kondisi anaknya.

UMKM kata  Ketum Apindo Shinta Widjaja Kamdani amat dominan dalam perekonomian Indonesia, ia ingin  UMKM bisa naik kelas dan berkelanjutan. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Sebagai pengusaha, apa saja problem dan tantangan yang dihadapi selama ini, misalnya dalam hal kepastian hukum, kesenjangan keterampilan, dll.?

Dari iklim usaha yang harus kondusif, itulah kenapa pemerintah melakukan reformasi struktural dengan mengusung UU Ciptaker. Ini dilakukan untuk memperbaiki iklim investasi. Kebanyakan aturan, tumpang-tindih perizinan akan diminimalisir. Kami apresiasi sekali dengan UU Ciptaker, namun implementasinya tak semudah membalik telapak tangan. Ini tantangan terbesar bagi pengusaha, bagaimana kita menjalankan bisnis di Indonesia ini bisa kompetitif dan berdaya saing. Agar bisa berkompetisi dengan negara lain yang juga menarik investasi dari luar.

Dalam soal industrialisasi saya kira pemerintah sudah di jalur yang benar dengan mengupayakan hilirisasi. Karena dampaknya banyak. Selama ini kita amat tergantung pada ekspor bahan mentah. Ini akan menjadi tantangan mengembangkan industri hulu dan juga hilir. Jadi kita tak tergantung pada impor bahan baku.

Ke depan industri kita dihadapkan pada ekonomi hijau, ini tak bisa dihindari. Kita harus masuk ke transisi energi, dari fosil ke EBT (energi baru terbarukan). Lalu kita juga bicara soal digitalisasi dan inovasi. Dengan adanya AI (artificial intelligence) dan perkembangan teknologi lainnya, SDM yang dibutuhkan makin sedikit. Inilah tantangan yang harus dihadapi kita semua, tidak hanya pengusaha.

Apa lagi selain itu?

Kita membutuhkan kestabilan politik dan keamanan untuk menjamin iklim kerja yang baik. Sebentar lagi kita akan menghadapi pesta demokrasi, pemilu. Harapan kami pesta demokrasi itu adalah ajang bertanding untuk bersanding. Silahkan berkompetisi namun endingnya bisa bersama-sama membangun negeri ini.

Kesiapan pengusaha sendiri seperti pada realitas seperti ini?

Untuk mencapai Indonesia emas, kita butuh waktu sebentar lagi, bonus demografi yang ada bisa menjadi beban dengan adanya otomatisasi. Soalnya kita tidak bisa menciptakan cukup pekerjaan. Selain itu, tren investasi yang masuk ke Indonesia sudah ke padat modal, dulu yang masuk investasi padat karya seperti tekstil, sepatu, dll. Persoalan lain adalah link and match yang kurang, apa yang keluar dari kampus/sekolah tidak terpakai di tempat kerja. Sekarang jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh industri digital cukup tinggi. Jenis skill yang dibutuhkan untuk era sekarang sudah berbeda. Ini yang harus kita siapkan. UMKM dan wirausaha yang menciptakan lapangan kerja juga bisa menjadi solusi untuk masa yang akan datang.

Anda bersuara soal libur nasional yang terlalu banyak dan bikin tidak produktif, bagaimana libur yang wajar?

Libur nasional itu sudah ditetapkan, ada tambahan cuti bersama. Kalau ada tambahan seperti ini yang kasihan tidak hanya pekerja tapi juga pemberi kerja. Dari sisi pemberi kerja, produktivitas harus jalan terus. Soalnya ada sektor yang diuntungkan (pariwisata, transportasi, konsumsi, dll.) dan ada juga yang dirugikan (manufaktur) dengan kebijakan ini. Karena itu, kami mengimbau agar ini tidak jadi mandatori. Jadi tergantung pada karakter usaha masing-masing. Agar semua bisa terencana dengan baik.

Anda juga mengkritisi soal penambahan biaya transaksi melalui QRIS yang bisa memberatkan UMKM, bagaimana penjelasannya?

Saat ini keadaan masih belum pulih, apa pun penambahan biaya akan berdampak pada jenis usaha yang dilakukan termasuk UMKM. Secara umum, saya katakan penambahan biaya itu bisa menjadi beban. Sebelum pemerintah menerapkan suatu kebijakan, alangkah baiknya berkomunikasi dengan pelaku bisnis terlebih dahulu. Itu yang kami harapkan dari pemerintah. Jangan bikin kebijakan yang bikin kaget kita semua.

Saat ikut kunjungan kerja Presiden ke Australia kemarin, apa hasilnya?

Hubungan antara Indonesia dan Australia sudah sangat positif. Perjanjian kedua negara sudah melibatkan pelaku usaha. Kami punya kepentingan, utilisasinya akan bisa dioptimalkan. Harapan kami bisa lebih banyak investasi yang masuk. Tak hanya antarpemerintah, tapi dari pelaku bisnis kedua negara juga banyak perjanjian yang akan ditindaklanjuti.

Dalam soal menggaet investasi asing, Indonesia bersaing dengan Vietnam, Thailand, dan negara lainnya, seperti apa kemudahan yang diberikan pemerintah untuk para investor?

Presiden sendiri sudah mengingatkan soal Vietnam, kok bisa lebih banyak menggaet investasi. Makanya berbagai penghambat masuknya investasi itu coba dieliminir melalui UU Ciptaker. Sekarang yang masih menjadi PR adalah kesenjangan antara policy dan implementasi. Lalu soal impor bahan baku dan bahan penolong, sebenarnya kita juga ingin kurangi namun tak bisa dilakukan sekarang, soalnya kita tak bisa produksi kalau tak ada bahan baku. Ada juga konsep TKDN (tingkat komponen dalam negeri) yang diterapkan, konsepnya bagus sekali namun kita tak ingin barang yang dibikin kostnya lebih tinggi sehingga harganya mahal. Jadi industri kita harus siap dengan semua ini.

Jadi untuk bersaing itu memang banyak hal yang bisa dilakukan. Mengapa produksi di China bisa murah karena faktor economics skill-nya tinggi sekali. Kalau tidak bisa efisiensi biaya, kita akan tinggi dan kita tak bisa bersaing dengan negara lain. Harga listrik kita paling tinggi, upah buruh kita juga paling tinggi di ASEAN. Jadi kita tidak kompetitif.

Di negara maju, pengusaha tak masalah membayar biaya tenaga kerja yang mahal karena bisa menghasilkan revenue yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya upahnya. Di Indonesia tidak demikian, karena peningkatan upah lebih didasarkan pada kenaikan biaya hidup bukan kenaikan produktivitas tenaga kerja. Sehingga angka pasar tenaga kerja (pekerja dibayar mahal jika produktivitasnya semakin tinggi) tidak berjalan.

Manajemen Keseimbangan ala Shinta Widjaja Kamdani

Bagi Shinta Widjaja Kamdani  untuk menjadi sehat tak hanya fisik, tapi juga mind, body and soul. . (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Banyak cara untuk melepas penat dan melakukan aktivitas yang memalingkan dari rutinitas harian. Sejak kecil, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani sudah gemar menari. Selain aktivitas itu, ia juga aktif dalam kegiatan sosial yang bisa membuat hidupnya seimbang.

“Saya selalu percaya kalau hidup itu harus seimbang. Namanya pekerjaan, rumah tangga, kehidupan sosial dengan berteman teman itu semua penting. Saya juga percaya untuk kesehatan itu tak hanya fisik, tapi juga mind, body and soul. Jadi, spiritual itu juga sangat penting,” ujar perempuan kelahiran Jakarta, 9 Februari 1967 ini.

Shinta sejak kecil punya hobi menari. “Dari kecil, saya suka menari. Saya belajar tari tradisional Jawa, Bali, dll. Lalu belajar juga balet dan tari modern. Saking hobinya saya sampai menjadi koreografer tari,” aku perempuan yang suka membaca buku ini.

Saat melanjutkan studi di New York, selain tugas utamanya belajar, ia juga mengembangkan bakat menarinya. “New York adalah kota yang amat bersahabat dengan dunia seni seperti tari. Saya sempat membuat koreografi tari yang memadukan unsur Barat dan Timur dalam karya saya. Itulah keunikan yang tak banyak dibuat oleh koreografer, memadukan unsur tradisional dan modern,” kata alumnus Barnard College of Columbia University dan Harvard Business School ini.

Kalau ada waktu luang, dia akan menari. “Bukan untuk pertunjukan tapi lebih untuk menyenangkan diri sendiri. Dengan melakoni hobi saya menjadi senang,” ujar Shinta yang tak pernah terpikir untuk menjadi seorang penari atau koreografer profesional.

Kenapa tidak bikin pertunjukan? “Terus terang saya tidak punya waktu yang cukup untuk melatih orang yang akan melakukan pertunjukan tari yang saya ciptakan,” akunya.

Sebelum pandemi COVID-19 melanda, Shinta masih punya waktu setahun sekali membuat koreografi musik dan tari. “Dulu sebelum pandemi, saya masih ada waktu mengumpulkan para duta besar, pejabat yang ada di Jakarta untuk ikut dalam pertunjukan tari yang saya ciptakan. Tapi sekarang sudah engga ada waktu,” kata Shinta melakukan semuanya untuk diplomasi budaya.

Unsur Kreativitas

Sejak kecil Shinta Widjaja Kamdani sudah gemar menari, kebiasaan itu terus dilakukan sampai sekarang, meski bukan sebagai penari profesional. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Dari dunia tari, apakah ada hubungannya dengan dunia bisnis yang ditekuni saat ini? “Secara langsung memang tidak ada hubungannya. Namun ada satu kesamaan yang bisa diterapkan oleh bidang bisnis dan juga seni. Yaitu kreativitas. Antara kreativitas dan bagaimana kita mengekspresikannya. Dalam banyak hal di bidang bisnis juga begitu, kita juga perlu banyak inovasi,” ujar Shinta yang juga gemar berburu kuliner saat  travelling ke suatu kota atau negara.

Di Sintesa Group, Shinta Widjaja Kamdani mengembangkan 4E (Four Ever); yaitu Empowerment, Entrepreneurship, Excellence, dan Empathy. “Empat unsur ini saya ambil dari orang tua saya. Di mana kami diajarkan untuk mandiri, jangan melupakan asal. Apa yang diwariskan itu kita bawa untuk kehidupan kita ke depan,” kata menambahkan harus bisa mengapresiasi hidup meskipun kecil.

Sejak kecil pula, Shinta sudah diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk mandiri. “Kami dididik untuk tidak bergantung pada orang lain, berdiri di atas kaki sendiri. Sejak kecil saya memang didik keras oleh ayah saya mungkin dia berharap saya bisa meneruskan usaha keluarga,” katanya.

Kenapa empathy menjadi budaya Sintesa, karena kita hidup ini memang tidak sendiri. “Karena itu harus peduli dengan lingkungan sekeliling kita,” katanya istri dari Irwan Kamdani Presiden Director PT. Datacrip ini.

Dan yang tak lupa adalah berbagi. Melalui organisasi dan aktivitas lainnya. “Sudah waktunya kita untuk balik memberi kepada sekitar kita melalui organisasi dan negara. Apa kontribusi kita sebagai warga negara untuk bangsa dan negeri ini,” kata ibu dari Syailendra Kamdani, Ileria Katya Kamdani, Abyasa Kamdani dan Latissa Kamdani ini.

Dididik Keras

Sebagai anak pemilik dari perusahaan keluarga, Shinta Widjaja Kamdani bukannya dianakemaskan, malah sebaliknya dia mendapat tantangan yang lebih besar dari karyawan yang lain. (Foto Savic Rabos, DI Raga VOI)

Meskipun Shinta Widjaja Kamdani adalah anak dari pemilik perusahaan, namun ia yang meniti karier dari bawah di salah satu perusahaan keluarganya, diperlakukan sama seperti karyawan lainnya. “Bahkan saya dididik lebih keras. Saya masih ingat pada atasan saya yang orang asing, dia bilang justru kamu anaknya owner, kamu harus bekerja lebih dan membuktikan yang terbaik,” kenang Shinta.

Shinta menapaki kariernya dari tahap satu ke tahap berikutnya dengan lebih keras. “Saya benar-benar meniti karier dari bawah, lalu naik jenjang satu ke jenjang lain lebih keras dari karyawan biasa. Soalnya saya harus keluar dari bayang-bayang orang tua kalau saya ini anaknya owner,” kata Shinta yang akan menerapkan hal sama pada salah seorang anaknya yang kini sudah bekerja di Sintesa Group.

Setelah 10 tahun bekerja, ia berada pada persimpangan, apakah ingin meneruskan bisnis keluarga atau memulai bisnis sendiri. “Soalnya dalam bisnis keluarga ini yang sudah tak sesuai dengan visi saya. Saya katakan selama ini sudah menjadi pekerja yang baik. Saatnya saya harus berjubah menjadi mitra kerja,” ungkap Shinta yang melakukan perdebatan panjang dengan orang tuanya.

Setelah sepakat dengan orang tua, Shinta melakukan konsolidasi dalam grup usaha keluarga. Menambah divisi baru dan melepas bidang usaha yang terlalu jauh dengan core bisnis. Hingga saat ini, Sintesa dibangun atas empat pilar utama: Energy, Consumer Products, Industrial Products, dan Property.

“Saya melakukan transformasi dari bisnis keluarga menuju bisnis dengan manajemen profesional. Antara urusan keluarga dan bisnis harus dipisahkan. Soalnya, saya ingin perusahaan sustainable terus sampai seratus tahun bahkan lebih kalau bisa. Saya tak mau kita berhenti di sini,” kata Shinta Widjaja Kamdani mengunci pembicaraan.

"Stunting ini penting agar kita bisa mendapatkan SDM yang berkualitas. Bagaimana kita mau mencapai Indonesia Emas kalau masih banyak anak Indonesia terkena malnutrisi dan juga stunting. Jadi masalah stunting ini tak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk menurunkannya,"

Shinta Widjaja Kamdani