Kejati Aceh Sita 1.306,5 Hektare Lahan Perkebunan Terkait Dugaan Tindak Pidana Pertanahan di Aceh Tamiang

BANDA ACEH - Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh telah menyita lahan perkebunan dengan luas 1.306,5 hektare (ha) dari dua perusahaan sawit yang terlibat dalam dugaan tindak pidana pertanahan di Kabupaten Aceh Tamiang.

Kepala Kejati Aceh, Bambang Bachtiar, menyatakan bahwa lahan yang disita tersebut terdiri dari perkebunan PT Desa Jaya Alur Jambu dengan luas 429 hektare dan perkebunan PT Desa Jaya Alur Meranti dengan luas 877,5 hektare. Kedua lahan tersebut berlokasi di Kabupaten Aceh Tamiang.

"Kasus dugaan tindak pidana korupsi pertanahan tersebut melibatkan tiga tersangka, yakni TY, TR, dan M. Ketiga tersangka saat ini telah ditahan," ucap Bambang dikutip Antara.

Lahan perkebunan yang disita kemudian dititipkan kepada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I untuk dikelola dan dioptimalkan sebagai aset yang disita.

Selain lahan perkebunan, penyidik juga menyita enam sertifikat tanah atas nama tersangka TY dan TR, serta empat sertifikat hak guna usaha atas nama PT Desa Jaya di Desa Sungai Liput, Kecamatan Kejuruan Muda, Kabupaten Aceh Tamiang.

Bambang Bachtiar menyebut bahwa saat ini penyidik masih memeriksa saksi-saksi dan tersangka terkait kasus ini. Diperkirakan kerugian negara dan perekonomian mencapai Rp46,8 miliar.

Sebelumnya, Kejati Aceh menetapkan TY, TR, dan M sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pertanahan di Kabupaten Aceh Tamiang. Mereka diduga menguasai eks lahan hak guna usaha (HGU) dan menjualnya kembali kepada negara.

Tersangka M merupakan Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang. TY merupakan direktur perusahaan pemegang eks HGU dan TR diduga menerima uang ganti rugi dari tanah negara.

Kronologis perkara bermula dari penerbitan dua HGU perkebunan karet oleh PT Desa Jaya pada tahun 1963. HGU pertama seluas 885,65 hektare dan HGU kedua dengan luas 1.658 hektare. Masa berlaku kedua HGU tersebut adalah 25 tahun dan berakhir pada Agustus 1988.

Sejak izin HGU berakhir pada 1988, perusahaan tersebut tidak memiliki izin hak atas tanah dan perizinan untuk melanjutkan usaha perkebunan. Pada tahun 2009, TR selaku pengurus perusahaan mengajukan permohonan sertifikat hak milik atas tanah milik negara.

Pengajuan sertifikat tanah bertujuan untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk pembangunan Makodim Aceh Tamiang. Namun, tanah yang diajukan adalah tanah milik negara.

Kemudian, M selaku Kepala BPN Kabupaten Aceh Tamiang menerbitkan sertifikat tanah dari tanah negara tersebut. Beberapa waktu kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang membayar ganti rugi atas tanah tersebut kepada TR dengan nilai Rp6,43 miliar.

Para tersangka diancam dengan Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.