Perekonomian Digital di Indonesia Belum Merata, OJK Ungkap Alasannya
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam mewujudkan perekonomian digital yang merata di seluruh Tanah Air.
"Ada beberapa tantangan untuk mewujudkan ekonomi digital di Indonesia, yaitu pertama masih ada gap antara tingkat literasi dan juga tingkat inklusi keuangan di Indonesia," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari dalam acara Indonesian Financial Literacy Conference 2023 di Jakarta, pada Jumat, 21 Juli.
Kepala Eksekutif yang kerap disapa Kiki ini mengatakan, berdasarkan survei nasional literasi dan inklusi keuangan tahun 2022, masih ada gap antara tingkat literasi dan juga tingkat inklusi keuangan di Indonesia.
"Kalau kami melihat tingkat literasi sekitar 49 persen, sedangkan tingkat inklusinya 85 persen. Artinya, masih ada gap antara orang yang menggunakan produk dan layanan, tetapi sebenarnya belum terlalu terliterasi dengan produk dan jasa keuangan yang digunakannya," ujarnya.
Untuk tantangan kedua, Kiki menyebut, masih adanya gap antara literasi dan inklusi antar daerah yang juga belum merata. "Ini rasanya menjadi PR kami semua untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di berbagai daerah," ucapnya.
Berdasarkan data, Kiki mengatakan, saat ini masih ada 14 provinsi dengan indeks literasi dan keuangan yang di bawah rata-rata nasional dan masih ada 15 provinsi dengan indeks inklusi keuangan yang di bawah rata-rata nasional.
"Selain itu, masih juga ada gap antara literasi dan inklusi keuangan digital masyarakat. Kalau kami melihat sekarang literasi keuangan digital mencapai 41 persen, sedangkan inklusinya sudah mencapai 55,82 persen," tuturnya.
Menurut Kiki, hal tersebut tentu berdampak pada meningkatnya kerentanan terhadap berbagai risiko terkait transaksi digital, seperti kerugian yang terus meningkat dari risiko cyber crime.
Berikutnya, lanjut Kiki, berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) terdapat lebih dari 700 juta kali serangan siber pada 2022 yang didominasi oleh range adware dan juga malware.
Kemudian, tentu adanya peningkatan exposure terhadap berbagai kasus penipuan berkedok pinjaman atau investasi, termasuk munculnya fenomena crazy rich yang sangat meresahkan masyarakat.
Baca juga:
Tak hanya itu, Kiki juga menyebut, adanya exposure terhadap pinjaman online ilegal dan berbagai modus penipuan di era digital saat ini, seperti social engineering di industri jasa keuangan dan juga kerentanan pencurian data pribadi di era digital.
"Di sisi lain, kami juga menyadari masih adanya gap penyediaan pembiayaan dari lembaga keuangan untuk memenuhi kebutuhan akses pembiayaan UMKM yang harapannya dapat dijembatani melalui penyediaan akses keuangan secara digital," terangnya.
Meski begitu, kata Kiki, pihaknya akan berkomitmen untuk terus mendorong perkembangan perekonomian digital di Indonesia, khususnya melalui pengembangan keuangan digital yang inklusif dan tentunya mengutamakan perlindungan konsumen dan masyarakat.
"Di tengah perkembangan tersebut, OJK memperoleh penguatan dalam UU P2SK berupa penegasan mengenai peran pengawasan perilaku pelaku usaha jasa keuangan atau market conduct, sehingga mampu menyikapi perubahan preferensi masyarakat ke arah digital," imbuhnya.