Minimnya Edukasi Warga Soal ODGJ Berujung Ritual Maut di Danau Kuari

JAKARTA - Komisi IX DPR mendorong pemerintah untuk menggencarkan edukasi ke masyarakat tentang pentingnya perawatan khusus bagi Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ). Pasalnya, masih banyak penderita gangguan jiwa yang belum mendapatkan perawatan khusus yang mereka butuhkan.

“Dalam memberikan perhatian khusus bagi penderita ODGJ, masyarakat masih belum paham bagaimana gejala, penyebab dan langkah medis yang harus dilakukan. Oleh sebab itu, diperlukan edukasi yang masif di tengah masyarakat tentang hal itu,” kata Anggota Komisi IX DPR RI, Arzeti Bilbina, Jumat 21 Juli.

Arzeti menyoroti peristiwa pengobatan alternatif terhadap ODGJ di Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang menyebabkan 3 orang tewas. Dalam kejadian ini, seorang pria berinisial AN mengaku sebagai guru spiritual yang bisa menyembuhkan penderita gangguan jiwa.

Dalam sugesti ke calon keluarga pasien, AN mengaku dirinya bisa melihat hal gaib dan mengatakan pasien ODGJ berinisial D diganggu makhluk astral sehingga diperlukan ritual penyembuhan. Pada ritual yang dijalankan tersebut, tubuh D ditenggelamkan di Danau Kuari Bogor dari kepala sampai tujuh kali.

Di tengah prosesi ini, tiba-tiba D mengamuk tak terkendali. Dua orang yang mendampinginya lalu berusaha untuk menenangkan, dan menarik D ke pinggir. Tapi nahas, mereka bersama-sama justru tenggelam di danau.

“Ini adalah salah satu contoh kurangnya edukasi di masyarakat tentang cara penanganan dan pengobatan penderita gangguan jiwa. Jika salah melakukan penanganan malah membuat pasien ODGJ kehilangan nyawanya,” tegas Arzeti.

Arzeti menjelaskan, berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Pemerintah memiliki peranan penting dalam mengedepankan hak-hak ODGJ. Termasuk hak untuk mendapatkan perawatan yang baik, hak untuk tidak didiskriminasi dan hak untuk berpartisipasi di masyarakat.

“Perawatan khusus bagi penderita orang dengan gangguan jiwa mencakup dukungan emosional dan medis yang menyeluruh. Dalam banyak kasus, dukungan dari keluarga dan teman-teman terdekat berperan penting dalam membantu penderita agar merasa ia didengar, dipahami, dan diterima,” jelasnya.

“Selain itu, dukungan medis dari para profesional kesehatan mental seperti psikolog dan psikiater dapat membantu dalam menetapkan diagnosis yang tepat dan merancang program pengobatan yang sesuai,” sambung Arzeti.

Sesuai amanat dari undang-undang, Komisi IX DPR yang membidangi urusan Kesehatan itu mengingatkan pentingnya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai ODGJ. Sebab, menurut Arzeti, masih banyak masyarakat yang percaya ODGJ disebabkan karena hal gaib.

“Diperlukan edukasi kepada masyarakat dari sisi kesehatan mengenai ODGJ. Kami juga mendorong agar Kementerian Kesehatan semakin menggalakkan sosialisasi mengenai pentingnya ODGJ memperoleh fasilitas kesehatan,” paparnya.

Dengan edukasi dan sosialisasi tentang kesadaran, kepekaan dan dukungan masyarakat bagi ODGJ, Arzeti berharap kejadian seperti di Bogor tidak terulang kembali. Masyarakat yang memiliki anggota keluarga ODGJ juga dinilai memerlukan dampingan dari Pemerintah agar tidak salah dalam penanganannya.

“Memberikan perhatian dan dukungan yang tepat bagi penderita gangguan jiwa menjadi tanggung jawab Pemerintah sehingga kualitas hidup rakyatnya, termasuk ODGJ, dapat terjamin dengan baik,” terang Arzeti.

Legislator dari Dapil Jawa Timur I tersebut menilai, penanganan negara untuk ODGJ masih belum optimal. Arzeti menyebut, masih banyak permasalahan sosial yang ditemukan berkaitan dengan ODGJ.

“Tidak sedikit juga karena kurangnya edukasi terhadap dukungan bagi pasien ODGJ, pihak keluarga akhirnya melakukan cara menutup ruang gerak bagi ODGJ. Seperi memasung, mengurung bahkan dijauhkan dari masyarakat,” ucapnya.

“Tentunya pola yang salah ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat dalam menangani ODGJ. Fenomena seperti ini masih jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemerintah,” sambung Arzeti.

“Belum lagi kita temukan masih banyaknya ODGJ yang berkeliaran tidak terurus di jalanan. Bahkan banyak yang kemudian merugikan orang lain. Ini butuh keseriusan dari Pemerintah baik Pemerintah pusat maupun Pemerintah daerah. Tentunya membutuhkan kerja sama lintas kementerian/lembaga atau instansi,” sambung Arzeti.

Penanganan ODGJ dinilai juga membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak. Arzeti menilai bantuan dari LSM, tokoh dan kelompok masyarakat turut berperan untuk para ODGJ.

“Saya juga lihat adanya beberapa orang secara pribadi dan kelompok yang fokus memberi bantuan kepada ODGJ. Bantuan-bantuan seperti itu harus didukung oleh Pemerintah. Dengan kerja sama Pemerintah dengan elemen bangsa lain pastinya membuahkan hasil positif terhadap warga kita yang menderita gangguan jiwa,” tuturnya.

Arzeti mengingatkan, peningkatan penderita ODGJ yang terjadi di Indonesia harus diatasi secara komprehensif. Berdasarkan Survei Kesehatan Mental Nasional (SKMN) yang diselenggarakan Kemenkes pada tahun 2018, ada 14,6 juta jiwa jumlah ODGJ di Indonesia. Angka tersebut meningkat dari survei tahun 2013 yakni 11,7 juta jiwa.

Peningkatan jumlah ODGJ disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan sosial dan budaya, stres dan tekanan hidup, konsumsi zat adiktif, gangguan kesehatan fisik, dan kurangnya akses ke layanan kesehatan jiwa.