OTT KPK Masih Diperlukan, Meskipun Disebut Luhut Kampungan

JAKARTA – Praktik Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebagai salah satu strategi yang digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk penindakan kasus korupsi di Indonesia masih menimbulkan pro kontra.

Pihak kontra menilai OTT KPK tidak banyak berdampak terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, ilegal dan mengancam privasi. Di sisi lain, kubu pro menilai OTT KPK mampu mengungkap kasus korupsi dengan cepat dan menghasilkan bukti konkret.

OTT KPK dalam 6 bulan terakhir ini menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Terutama sejak Menkomarinves Luhut Binsar Pandjaitan berkali-kali mengkritik praktik OTT yang dilakukan KPK. Terakhir Luhut mengungkapkan kritiknya terhadap OTT di Gedung Merah Putih KPK pada 18 Juli lalu.

“Jangan hanya bilang nangkap-nangkap saja, saya bilang kampungan. Saya setuju ditangkap, tapi kalau semakin kecil ditangkap karena digitalisasi, kenapa tidak?” ujar Luhut.

Istilah “kampungan” menjadi satu hal baru dari kritikan Luhut terhadap praktik OTT KPK. Sudah sedemikian murahan kah OTT KPK, sampai harus dilecehkan sebagai aksi kampungan oleh seorang pejabat negara?

Menkomarinves Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua KPK Firli Bahuri. (Antara/Fianda Sjofjan Rasaat)

Luhut juga menambahkan bahwa OTT yang dilakukan KPK bahkan tidak membuat para pelaku korupsi jera. Meskipun lembaga antirasuah itu berkali-kali melakukan OTT, angka korupsi di Indonesia ternyata masih tinggi.

“Maaf kalau saya bicara terbuka. OTT pun buahnya tidak membuat orang jadi kapok,” kata Luhut dalam Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Stranas 2021-2022 di Jakarta, Selasa, 13 April 2023.

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2020 tercatat sebesar 37. Nilai itu turun 3 angka dibandingkan 2019, yang tercatat 40. Berdasar data Transparency International tahun 2022, posisi Indonesia berada di urutan 110 dari 180 negara terkorup sedunia.

Pada 20 Desember 2022, Luhut juga mengkritik OTT KPK. Dia menyebutkan bahwa OTT KPK hanya memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Semakin sering OTT diberitakan, semakin menegaskan citra bahwa Indonesia adalah negara korup.

“OTT sebenarnya tidak bagus bagi negeri ini. Jelek banget, gitu. Tapi kalau digitalize, siapa yang mau melawan kita?” ujar Luhut dalam Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Jakarta, 20 Desember 2022.

Luhut saat ini memang gencar mengedepankan digitalisasi sebagai pencegahan korupsi, dibandingkan melakukan OTT. Menurutnya, digitalisasi dapat mempersempit ruang gerak niatan korupsi. Jika celah korupsi dapat dipersempit, OTT tak lagi diperlukan.

Tidak Sepenuhnya Berdasarkan Hukum

KPK dalam melakukan OTT menggunakan dua teknik, yaitu penyadapan dan penjebakan. Namun dua teknik tersebut tidak sepenuhnya dilindungi undang-undang, sehingga banyak kritik yang menyebutkan bahwa OTT adalah tindakan melanggar hukum, illegal.

Penyadapan hanya diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Sementara tindakan jebakan, sama sekali tidak dikenal dalam berbagai aturan soal korupsi di Indonesia.

Akibatnya, kedua teknik tersebut jadi memicu opini bahwa KPK melakukan tindakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, yaitu tentang privasi seseorang. Semua itu diakibatkan dari ketidak jelasan batasan dan mekanisme kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK.

Sebagai Lembaga independen yang fokus pada isu korupsi, KPK mengemban tugas berat dalam memberantas korupsi. Berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002, KPK bertugas untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi, koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, serta pemantauan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

OTT KPK yang berhasil meringkus Komisioner KPU, Wahyu Setiawan pada awal 2020. (Antara/Dhemas Revijanto)

Dominasi peran KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia menjadikan KPK sebagai sorotan utama dari publik ketimbang 2 lembaga negara lainnya, Kepolisian dan Kejaksaan.

Menurut data LSI (2019), KPK menjadi lembaga yang paling dipercayai publik (84%), disusul kemudian Presiden (79%), Kepolisian (72%), Pengadilan (71%), dan DPR (61%). Hal ini tidak terlepas dari performa KPK sebagai lembaga independen yang dianggap mampu mempertahankan independensi di tengah berbagai wacana pelemahan dan kepentingan politik.

OTT yang melibatkan aktor-aktor penting sekelas kepala daerah, menteri, atau legislatif menimbulkan efek kejut yang mampu menarik perhatian masyarakat. Tak heran jika kemudian operasi tangkap tangan menjadi media darling.

Di sisi lain, keberhasilan OTT KPK menangkap tokoh-tokoh msayarakat negeri ini, tidak dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia. Itu terbukti dari peringkat Indonesia yang merosot dalam daftar negara terkorup di dunia.

Salah satu faktor utama pemberantasan korupsi di Indonesia belum maksimal adalah substansi hukum yang multitafsir. Interpretasi OTT adalah contohnya, yang masih mengundang pro dan kontra hingga saat ini.

Bagaimanapun OTT KPK dipandang, bahkan dianggap kampungan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, aksi itu masih diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Setidaknya untuk menjatuhkan sanksi sosial bagi pelaku korupsi. Dan ingat, sanksi sosial berupa stigma koruptor itu berlaku seumur hidup!