Menyasar Pemilih Muda dalam Pemilu 2024 Sangat Penting, Sayang…
JAKARTA - Pemilu bukan hanya tentang memilih pemimpin untuk masa kini, tetapi juga menentukan arah negara dalam jangka panjang. Sebab itu, menyasar pemilih muda (generasi milenial hingga gen z) menjadi sangat penting.
Mereka akan menjadi pemimpin dan pengambil keputusan di masa depan. Keterlibatan mereka dalam proses politik saat ini dapat membentuk pola pikir, sikap, dan nilai-nilai yang akan membawa dampak positif dalam pemerintahan dan pembangunan di masa mendatang.
Semua pihak yang terlibat dalam kontestasi Pemilu 2024 membahas soal pemilih muda. Mulai partai politik hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjalankan program yang nyaris sama, menyasar pemilih muda.
Mungkin karena berdasar data survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2022, pemilih muda berusia 17-39 tahun mendekati angka 60 persen dari total penduduk Indonesia. Mereka berpotensi menjadi penentu kemenangan dalam Pemilu 2024.
“Pemilih muda merupakan sebagian besar dari populasi pemilih potensial. Persentase pemilih muda sebesar 56,45 persen pada Pemilu 2024 sehingga berpotensi sebagai penentu hasil,” kata anggota KPU, Yulianto Sudrajat dalam Kuliah Umum Pendidikan Demokrasi untuk Pemilih Muda di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) pada 10 Juli lalu.
“Pemilih muda juga merupakan pijakan yang kuat dalam membangun dan memperkuat demokrasi. Selain itu, pemilih muda secara luas terhubung dengan teknologi dan aktif di media sosial sehingga memiliki kemampuan untuk menyebarkan pesan, mempengaruhi opini publik, dan memobilisasi massa melalui platform digital,” ujar Yulianto melanjutkan.
Dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Tingkat Nasional yang digelar KPU pada 2 Juli 2023, ditetapkan ada 204.807.222 pemilih untuk Pemilu 2024. Semua tersebar di 38 provinsi, 514 kota/kabupaten, 7.277 kecamatan, 83.731 desa/kelurahan, dan 820.161 Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Itu hanya data di Indonesia, sementara untuk luar negeri pemilih tersebar di 128 negara. Jumlah total Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Kotak Suara Keliling (KSK) dan Pos ada 3.059 buah.
Dari sisi jumlah pemilih berdasarkan gender, di Indonesia ada 101.467.243 pria dan 101.589.505 perempuan. Jadi jumlah pemilih di Indonesia sebanyak 203.056.748. Sementara jumlah pemilih di luar negeri mencakup 1.750.474 individu, yang terbagi dari 751.260 laki-laki dan 999.214 perempuan.
Tanpa Strategi Berkelanjutan
Bidikan terhadap pemilih muda untuk kontestasi Pemilu sebenarnya sudah dilakukan sejak 2014. KPU mengangkat program Relawan Demokrasi (Relasi), sedangkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) punya program Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) sejak 2018. Dua program ini bertujuan meningkatkan partisipasi pemilih, dengan harapan peningkatan kualitas Pemilu.
Guslan Batalipu, anggota Sekretariat Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dalam tulisannya di Kompas menyebutkan bahwa tidak ada konsistensi dari kedua institusi tersebut untuk melaksanakan program mereka sehingga berkelanjutan.
“Sayangnya, cita-cita luhur tersebut tidak didukung dengan kontinuitas dan konsistensi. Desain program tersebut sepertinya tidak dirancang dengan serius. Pembentukan relasi masih bersifat momentum, hanya ketika menjelang Pemilu atau Pilkada. Sementara SKPP, sejak digagas hingga mencetak ribuan kadernya, belum juga menunjukkan pengaruh signifikan untuk mendorong kualitas dan kesadaran politik pemilih muda,” sebut Guslan dalam tulisannya di artikel tertanggal 23 Maret 2023.
Akibat dari inkonsistensi penerapan program pendidikan Pemilu untuk generasi muda, sebagian besar pemilih muda potensial justru tidak melirik urusan politik. Mereka lebih sibuk dengan aktivitas dunia maya, seperti media sosial, gim online, dan sejenisnya.
Data CSIS pada 2022 menunjukkan bahwa hanya ada 17,7 persen generasi muda yang tertarik politik dan menyampaikan pandangan politiknya lewat media sosial. Selebihnya lebih tertarik pada hal-hal yang jauh dari politik. Bahkan 81 persen dari Generasi Z saat ini adalah pelaku gim online, atau gamers.
Banyak faktor pendorong yang membuat generasi muda yang sebenarnya diharapkan menjadi pemilih muda potensial, justru beraktivitas jauh dari urusan politik. Kinerja penyelenggara Pemilu yang kurang baik, regulasi yang berubah-ubah, individu penyelenggara yang kurang kompeten, serta inkonsistensi program pendidikan Pemilu menjadi faktor pendorong tersebut.
“Akibatnya partisipasi pemilih muda potensial justru berkurang. Bahkan terancam hilang,” ungkap Guslan lagi dalam tulisannya.
Kemerosotan partisipasi publik dalam Pemilu setidaknya dapat diukur dari jumlah lembaga independen pemantau Pemilu yang cenderung menurun. Pada awal Pemilu demoktaris di Indonesia pada 1999 ada 66 lembaga pemantau Pemilu. Lantas pada Pemilu 2004 jumlah tersebut menurun menjadi 30.
Pemilu 2009 jumlah lembaga pemantau pemilu yang terakreditasi di KPU dan Bawaslu malah semakin menciut, menjadi 24. Pemilu 2014 semakin mengecil dengan hanya tersisa 19 lembaga. Kemudian membengkak menjadi 51 lembaga pada Pemilu 2019. Saat ini di KPU terdaftar 20 lembaga pemantau untuk Pemilu 2024.
Baca juga:
Inkonsistensi menjadi titik lemah dari pendidikan Pemilu untuk pemilih muda. Itu tercermin dari berbagai data berkaitan dengan Pemilu yang menunjukkan grafik naik turun tajam.
Menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pihak-pihak terkait, untuk benar-benar memaksimalkan potensi pemilih muda dalam Pemilu. Diharapkan cita-cita Pemilu jujur dan adil, Pemilu bersih, Pemilu berkualitas, Pemilu bebas korupsi tidak hanya menjadi jargon kosong, yang dituliskan besar-besar pada poster di pinggiran jalan. Pada akhirnya jargon-jargon itu hanya berakhir di tong sampah setelah Pemilu usai.