Perwira TNI Jadi Korban Penipuan Rekrutmen CPNS Kejaksaan
MATARAM - Seorang perwira TNI yang bertugas di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat Letnan Satu (Lettu) Azyadi terungkap menjadi salah seorang korban penipuan dalam proses perekrutan CPNS di Kejaksaan.
Azyadi memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang perkara pemerasan dalam jabatan dengan terdakwa Eka Putra Raharjo di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Jumat, 14 Juli.
Dalam persidangan, Azyadi menceritakan awal pertemuan dengan terdakwa yang kini masih berstatus jaksa fungsional Kejati NTB tersebut. Pada tahun 2021, Azyadi hendak mencarikan jalur "orang dalam" agar anaknya lulus sebagai jaksa.
"Waktu itu saya dikenalkan dengan Pak Eka oleh seorang rekan saya namanya Sahli," kata Azyadi dilansir ANTARA.
Usai perkenalan, Eka memberikan saran kepada Azyadi untuk menyiapkan uang Rp100 juta.
Eka membahasakan uang itu sebagai pinjaman dengan memberikan jaminan berupa sebuah rumah yang berlokasi di wilayah Sesela, Kabupaten Lombok Barat.
"Saya berikan bertahap. Pertama itu Rp60 juta, tanggal 2 Agustus 2021. Tiga hari kemudian saya kasih sisanya Rp40 juta," ujarnya.
Perwira TNI yang kini menduduki jabatan Perwira Pembinaan Mental (Pebintal) Korem 162/Wira Bhakti itu menjelaskan uang Rp100 juta itu berasal dari pinjaman bank.
"Saya ambilkan di BRI. Cicilannya Rp3,2 juta per bulan. Itu saya setor sampai pensiun," ucap dia.
Baca juga:
- Kerusuhan di Dogiyai Papua Tengah, Rumah Warga Dibakar, Anggota Satgas Damai Cartenz Diserang
- DPR Anggap Bawaslu Lampaui Kewenangan Usulkan Penundaan Pilkada Serentak 2024
- Menkes Tegaskan UU Kesehatan Tak Hapus Organisasi Profesi Kesehatan
- Menhub Budi Karya Minta KPK Jadwalkan Ulang Pemanggilan di Kasus Suap Proyek Kereta Api
Hakim anggota Fadli Hanra turut mempertanyakan nasib anaknya yang ikut tes CPNS kejaksaan pada tahun 2021 tersebut. Azyadi pun mengungkapkan bahwa anaknya tidak lulus meskipun sudah berupaya meminta bantuan dari terdakwa.
Karena tidak lulus, Azyadi mengaku dirinya sudah melakukan penagihan kepada terdakwa. Namun demikian, uang tidak juga kembali.
"Dalam sebulan itu, empat kali saya datangi rumahnya, tetapi bahasa Pak Eka ini belum ada uang," ujarnya.
Terkait dengan rumah yang jadi jaminan, Azyadi mengatakan bahwa dirinya tidak bisa melakukan apapun karena sertifikat hak milik rumah yang mengatasnamakan istri terdakwa itu masih dalam status jaminan di bank.
"Kalau saya perbaiki rumah itu, nanti istrinya menggugat, salah lagi saya," kata Azyadi.
Dengan adanya kasus ini, Azyadi mengaku pembayaran cicilan kredit bank kini hanya mengandalkan dari gaji.
"Tidak ada penghasilan lain, hanya dari gaji saja," ujarnya.
Usai pemeriksaan, hakim memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menanggapi kesaksian Azyadi.
Kepada saksi di hadapan persidangan, terdakwa meyakinkan dirinya akan melunasi utang kepada Azyadi.
"Pasti saya kembalikan, itu makanya saya berikan jaminan dalam bentuk rumah itu," kata terdakwa Eka.
Dalam kasus ini, jaksa penuntut umum menerapkan dakwaan Pasal 11 dan/atau Pasal 12 huruf e dan/atau pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 421 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dari uraian dakwaan, Eka diduga memanfaatkan jabatan sebagai jaksa fungsional untuk melakukan aksi pemerasan terhadap sejumlah peserta CPNS.