Tegaskan Indo-Pasifik Jangan Jadi Medan Perang di Hadapan AS, Rusia hingga China, Menlu Retno: EAS Harus Berkontribusi

JAKARTA - Masyarakat menaruh harapan besar kepada East Asia Summit (EAS) sebagai satu-satunya forum yang melibatkan semua pemain kunci di kawasan Indo-Pasifik, kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam pertemuan Menteri Luar Negeri EAS di Jakarta, Jumat.

Dikatakan, saat ini Indo-Pasifik berada di momen yang menentukan. Kawasan ini akan menjadi kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi global dalam 30 tahun ke depan. Perkembangan penting di bidang teknologi, kedokteran dan energi terbarukan terjadi setiap hari.

"Namun kita belum mampu mewujudkan lingkungan yang kondusif untuk mengoptimalkan potensi di kawasan. Kecurigaan dan ketidakpastian masih terjadi. Sebagian bahkan menyebut Indo-Pasifik mengalami perang dingin di tempat panas," ujar Menlu Retno dalam keterangan Kementerian Luar Negeri RI, Jumat 14 Juli.

"Indo-Pasifik jangan sampai menjadi medan perang. Kawasan ini harus tetap stabil," tegas Menlu Retno.

Pertemuan Menlu EAS 2023 di Jakarta. (Sumber: Kementerian Luar Negeri RI)

EAS yang terdiri dari 18 negara, yakni anggota ASEAN dan para mitra seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Jepang, India, Australia, Korea Selatan dan Selandia Baru, dikatakan merupakan wadah yang inklusif untuk membahas dinamika di kawasan dan dunia.

Selain sebagai net kontributor pertumbuhan ekonomi, Indo-Pasifik juga harus jadi net kontributor untuk perdamaian dan menyebarkan paradigma kolaborasi ke kawasan lain. EAS harus berkontribusi mewujudkan cita-cita kolektif, yaitu kawasan yang damai, stabil dan inklusif.

"Bayangkan EAS sebagai sebuah kereta, dan komitmen kita terhadap Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (TAC) dan Bali Principles sebagai rel kereta. Kita harus memastikan jalan kita berpapasan, bukan saling menghalangi," ujar Menlu Retno.

Pertemuan Menlu EAS 2023 di Jakarta. (Sumber: Kementerian Luar Negeri RI)

Lebih jauh ia mengatakan, semua pihak harus bekerja sama untuk menjembatani, menanamkan kepercayaan dan membangun arsitektur kawasan yang inklusif. Perbedaan yang ada tidak boleh menjadi pemisah, melainkan justru memperkaya upaya kolektif dan menjadi kekuatan.

Mengutip falsafah ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang mengandung makna dari perbedaan dapat tercipta harmoni untuk mewujudkan agenda bersama, semangat ini perlu dimiliki oleh semua peserta EAS dalam berdiskusi dan saling mendengarkan tanpa prasangka, kata Menlu Retno.

"Kita bersama-sama di kereta EAS dan setiap orang dipersilahkan naik," tandasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Menlu Retno juga mengajak negara-negara anggota EAS untuk menyukseskan East Asia Summit September mendatang, meminta agar semua pihak dapat bersama-sama membangun jembatan untuk mempertemukan perbedaan yang ada.