Pembakaran Al-Qur'an Tidak Dapat Tempat di Eropa, Pejabat UE: Manifestasi Rasisme, Xenofobia dan Intoleransi

JAKARTA - Koordinator Uni Eropa (UE) untuk Memerangi Kebencian anti-Muslim mengatakan blok tersebut menganggap protes pembakaran Al-Quran tidak memiliki tempat di Eropa, namun soal pelarangan, tergantung pada kebijakan masing-masing negara.

Marion Lalisse mengatakan, negara-negara Uni Eropa harus mencapai keseimbangan yang sangat baik antara kebebasan berekspresi dan agama.

Lalisse mengatakan, blok tersebut berpendapat "membakar sebuah kitab yang dianggap suci tidak sejalan dengan nilai-nilai fundamental kami".

"Hal ini dapat dianggap sebagai manifestasi dari rasisme, xenofobia dan intoleransi dan hal ini tidak memiliki tempat di Eropa," katanya kepada The National News, seperti dikutip 14 Juli.

Ketika ditanya tentang kemungkinan pelarangan, ia mengatakan membakar Al-Qur'an dapat dianggap sebagai penghasutan kebencian, tindakan yang seharusnya dihukum oleh negara-negara Uni Eropa di bawah arahan tahun 2008.

Namun, apa yang dimaksud dengan penghasutan tergantung pada 27 anggota Uni Eropa, dengan Lalisse mengatakan negara-negara anggota akan berusaha menghindari pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.

"Tergantung pada negara-negara anggota untuk menerapkan keputusan kerangka kerja ini, mereka memiliki pendekatan yang beragam dalam bidang ini," jelasnya.

Koordinator UE untuk Memerangi Kebencian anti-Muslim Marion Lalisse. (Wikimedia Commons/European Commission/Christophe Licoppe)

"Ini adalah masalah dialog dan memastikan kita juga memperhatikan bagaimana hal ini dapat menyinggung perasaan orang," lanjut Lalisse.

"Saya sepenuhnya memahami, tidak mudah bagi badan-badan penegak hukum dan peradilan di negara-negara anggota untuk membuat keseimbangan yang sangat baik antara kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi," tandasnya.

Lalisse, yang telah menerima suara dari Organisasi Negara-negara Islam (OKI), mengatakan salah satu tujuannya adalah untuk mengatasi bias rasial dalam kepolisian, setelah penembakan seorang remaja keturunan Aljazair yang menyebabkan kerusuhan di seluruh Prancis.

Dikatakannya, Uni Eropa akan mendorong pelatihan bagi para petugas polisi, untuk mencegah orang-orang diprofilkan secara ilegal berdasarkan ras.

"Sayangnya, kejadian-kejadian yang terjadi baru-baru ini di Prancis menunjukkan hal ini sangat penting," ujar Lalisse.

Perdebatan mengenai pembakaran Al-Qur'an kembali muncul, setelah dua protes baru-baru ini di Stockholm yang menimbulkan kecaman dari dunia Muslim.

Swedia mengatakan sedang mempertimbangkan, apakah insiden yang dirancang untuk memprovokasi dan menyebabkan penghinaan merupakan sebuah kejahatan di bawah undang-undangnya.

Pekan ini, Dewan HAM PBB resolusi terkait kebencian terhadap agama, mengatakan orang-orang yang bertanggung jawab atas tindakan penodaan harus dimintai pertanggungjawaban. AS dan Uni Eropa memberikan suara menentang resolusi tersebut.

Pihak berwenang Swedia menyuarakan kekhawatiran akan adanya pembalasan dengan kekerasan, setelah pembakaran Al-Qur'an terjadi bulan lalu. Namun, para hakim negara itu memutuskan hal tersebut bukan alasan yang cukup untuk melanggar kebebasan berekspresi.

Lalisse sendiri diangkat pada Bulan Februari, tidak lama setelah pembakaran sebuah Al-Quran di luar Kedutaan Besar Turki di Swedia.

Ia berencana untuk menunjuk sebuah tim ahli untuk memetakan kondisi kebencian anti-Islam di Eropa, menggambarkan laporan baru-baru ini dari Jerman yang mengatakan diskriminasi merupakan kenyataan sehari-hari bagi umat Islam, sebagai hal mengerikan.

Laporan Eropa yang direncanakan "harus menjadi yang pertama kalinya kita memiliki refleksi seperti itu, pemikiran seperti itu di tingkat Uni Eropa, dengan rekomendasi untuk jalan ke depan," katanya.