Kasus Transaksi Janggal Rp189 Triliun Terkait Eskportasi Emas Masih Diterawang

JAKARTA - Satgas TPPU mengatur pertemuan lanjutan antara Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Kejaksaan, dan Bareskrim Polri, untuk mendalami transaksi janggal senilai Rp189 triliun terkait eksportasi emas yang ditemukan oleh PPATK.

Transaksi janggal itu, yang saat ini masih diselidiki oleh Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), merupakan satu dari 18 temuan PPATK yang menjadi prioritas kerja Satuan Tugas Tindak Pidana Pencucian Uang (Satgas TPPU) sampai akhir 2023.

“Kami tadi sudah putuskan untuk dilakukan pertemuan bersama. Kami akan mengundang Bareskrim (Polri), kami juga akan mengundang, meskipun di internal Kemenkeu, kami juga akan mengundang dari Direktorat Jenderal Pajak untuk memastikan data, keterangan, dan dokumen yang sudah diperoleh Bea Cukai, yang menurut mereka belum bisa dinaikkan ke penyidikan, ada gak potensi tindak pidana lainnya,” kata Ketua Tim Pelaksana Satgas TPPU Sugeng Purnomo dilansir ANTARA, Senin, 10 Juli.

Pertemuan itu juga dapat menjadi kesempatan bagi lembaga lain di luar Bea Cukai untuk memberi masukan mengenai dokumen-dokumen yang perlu dilengkapi untuk mendalami transaksi mencurigakan Rp189 triliun tersebut.

“Mungkin nanti di forum itu dikatakan masih ada hal-hal yang belum dilengkapi teman-teman Bea Cukai. Nah, kami tadi berpikir untuk melakukan penyelidikan bersama. Jadi bersama dalam arti bukan satu surat perintah,” kata Sugeng, yang juga menjabat Deputi Bidang Hukum dan HAM Kemenko Polhukam.

Penyelidikan bersama itu lembaga-lembaga di luar Bea Cukai dalam pertemuan tersebut juga ikut mendalami dokumen-dokumen dan keterangan yang dihimpun oleh Bea Cukai. Kemudian, manakala ditemukan pelanggaran hukum yang ada di bawah kewenangannya, maka Bareskrim Polri atau Ditjen Pajak langsung bergerak mengusut dan menindak pelanggaran tersebut.

“Katakanlah, tindak pidananya ini terkait dengan kewenangan teman-teman kepolisian, (maka) Bareskrim yang bergerak sendiri, tentu nanti (tetap) akan melakukan komunikasi ya,” kata Sugeng.

Sugeng menjelaskan tiap lembaga memiliki kewenangan masing-masing yang terpisah untuk mengusut dan menindak tindak pidana asal dari dugaan TPPU.

“Bisa dibuka Pasal 2 Undang-Undang TPPU, banyak itu ada sekitar 26 (jenis tindak pidana asal). Cuma begini, kalau kita coba spesifik untuk melihat kewenangannya, kalau kita bicara kewenangan teman-teman Bea Cukai itu hanya tindak pidana yang terkait dengan Kepabeanan dan Cukai. Pajak, hanya terkait dengan tindak pidana perpajakan,” kata Sugeng.

Sementara itu, kejaksaan punya kewenangan mengusut dugaan korupsi, dan kepolisian berwenang mengusut tindak pidana korupsi dan tindak pidana umum lainnya.

“Teman-teman Bea Cukai tadi menyampaikan ini kira-kira di Rp189 triliun ada potensi tindak pidana lain, maka kami akan undang kawan-kawan Bareskrim dan Kejaksaan untuk melihat, termasuk untuk menilai, memberikan masukan apakah yang dilakukan Bea Cukai terkait Rp189 T itu sudah optimal atau belum,” kata pejabat di Kemenko Polhukam itu.

Terkait temuan transaksi mencurigakan Rp189 triliun itu, Bea Cukai sejauh ini telah menghimpun keterangan dari 36 pihak, dan terjun langsung ke empat kota untuk mendalami kasus.

“Tadi sudah dijelaskan oleh kawan-kawan Bea Cukai, beberapa kegiatan yang dilakukan di antaranya adalah meminta penjelasan 36 pihak, (kami) sudah mendatangi empat kota. Tetapi, saya tidak akan menjelaskan di tempat mana saja empat kota itu, dan itu terus berjalan,” kata Ketua Tim Pelaksana Satgas TPPU.

Transaksi mencurigakan Rp189 triliun merupakan bagian dari temuan transaksi janggal Rp349 triliun di Kementerian Keuangan sebagaimana laporan PPATK sejak 2009 sampai dengan 2023.

Tindak lanjut dari laporan PPATK itu, Menko Polhukam pada 3 Mei 2023 membentuk Satgas TPPU untuk mengusut transaksi janggal tersebut.

Terkait transaksi janggal Rp189 triliun, Mahfud MD pernah menyampaikan itu saat rapat dengan Komisi III DPR pada 29 Maret 2023. Transaksi itu terkait dengan eksportasi emas yang melibatkan salah satu perusahaan swasta.

Langkah hukum sebetulnya telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan terkait kasus itu pada periode 2016–2017. Namun, putusan majelis hakim sampai tingkat peninjauan kembali (PK) pada 2019 memutuskan tidak ada unsur pidana dalam kasus tersebut.