Kejari Jayapura Telusuri Kasus Korupsi Proyek Dermaga Kampung Teba Mamberamo
JAYAPURA - Kejaksaan Negeri (Kejari) Jayapura melakukan penyidikan terkait dugaan korupsi pada pembangunan dermaga rakyat di Kampung Teba, Kabupaten Mamberamo Raya, Papua.
"Saat ini penyidikan terus dilakukan terhadap pembangunan dermaga rakyat di Teba. Sudah delapan orang saksi dimintai keterangan," kata Kepala Kejari Jayapura Aleksander Sinuraya dilansir ANTARA, Senin, 19 Juni.
Dia mengatakan penyidikan terhadap pembangunan dermaga rakyat tahap satu di Teba dengan alokasi dana sebesar Rp3,1 miliar lebih melalui Dinas Perhubungan Mamberamo Raya tahun anggaran 2021 itu karena diduga tidak sesuai mekanisme ketentuan yang berlaku.
Menurut dia, kegiatan yang bersumber dana alokasi khusus (DAK) tahun anggaran 2021 itu diduga dilaksanakan tidak sesuai mekanisme pengadaan dalam Keppres yaitu pelelangan melalui LPSE.
Saat itu Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Mamberamo Raya melakukan penunjukan langsung kepada CV. S dengan kontrak NO :04/Kontrak/dermaga Teba/DISHUB-MR/V/2021
tanggal 03 Mei 2021 dengan nilai kontrak Rp3.122.427.000,-
Pekerjaan pembangunan dermaga rakyat itu dilaksanakan selama 150 hari kalender yakni dari 3 Mei 2021 sampai 20 September 2021, dengan pengadaan pemancangan tiang sebanyak 85 batang.
Namun, kata Kajari Jayapura, pembayaran pekerjaan itu sudah dilakukan 75 persen atau sebesar Rp1.957.193.912, setelah dipotong pajak sebesar Rp228.504.988, tetapi dokumen yang digunakan untuk pengajuan anggaran tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Baca juga:
Dari penyidikan itu terungkap perbuatan kontraktor pelaksana yang melaksanakan kegiatan pembangunan dermaga rakyat tahap I dengan lokasi kegiatan Kampung Teba Distrik Mamberamo Hilir itu tidak sesuai dalam kontrak yaitu tidak melakukan pengadaan 85 buah tiang pancang baja dengan ukuran panjang 10 meter dan diameter 30 Cm.
Selain itu juga perbuatan pejabat pembuat komitmen (PPK) yang menyetujui permintaan pembayaran dari kontraktor pelaksana sebesar Rp1.957.193.912,- setelah dipotong pajak, padahal pekerjaan di lapangan tidak sesuai dengan spesifikasi sebagaimana yang tertuang dalam kontrak alias fiktif.
"Penyidik juga sudah menyita dokumen seperti DPA (dokumen pelaksanaan anggaran), kontrak dan SP2D (surat penerbitan pencairan dana)," kata Sinuraya.