Cerita Dede Yusuf Tentang Perjuangan Siswa dan Guru di Negeri ini yang Mau Pergi ke Sekolah
JAKARTA - Kata Komisi X DPR, apa yang terjadi pada siswa SDN 478 Barowa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel), hanyalah salah satu potret buruknya infrastruktur pendidikan di dalam negeri.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf mengatakan, kondisi infrastruktur di beberapa wilayah di Tanah Air belum memenuhi kelayakan bagi masyarakat, termasuk dalam hal infrastruktur pendidikan untuk anak.
“Saya sering menemukan sekolah yang berada di bawah tebing gunung atau tebing bukit. Perjalanan untuk ke sekolah itu harus melewati jalan setapak yang pingir-pingirnya atau tepinya adalah jurang,” kata Dede Yusuf, Kamis 14 Juni.
Masih kurangnya infrastruktur pendidikan di Indonesia bukan hanya dirasakan oleh siswa saja. Menurut Dede, tidak sedikit tenaga pengajar yang harus berjuang ekstra untuk bisa sampai ke sekolah tempat mereka mengajar murid-murid.
“Guru-guru juga cerita kepada saya untuk sampai ke sekolah itu, mereka harus naik motor melewati jalan berkubang atau berlumpur atau berjalan kaki 2 sampai 3 jam baru sampai di lokasi. Apalagi siswanya,” tutur mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini.
Dede memahami, bahwa ada daerah-daerah yang sulit ditembus oleh kendaraan saat berbicara mengenai pembangunan infrastruktur mengingat demografi di Indonesia yang cukup menantang. Ia pun menilai untuk wilayah-wilayah desa, khususnya yang berada di kabupaten pedalaman, bukanlah jalan tol atau jalan nasional yang dibutuhkan namun kemudahan akses jalan.
“Karena di situlah beradanya masyarakat kita. Dan fenomena seperti di Kabupaten Luwu itu banyak sekali terjadi, bahkan di daerah-daerah yang sebenarnya dekat dengan kota-kota besar,” ungkap Dede.
Ditambahkannya, Pemerintah Daerah (Pemda) juga punya tanggung jawab dalam hal infrastruktur pendidikan di wilayahnya. Dede menganggap, kurangnya pendataan dan pemetaan lokasi menjadi salah satu sebab masih banyak ditemukannya anak-anak yang kesulitan ketika berangkat dan pulang sekolah.
“Pemerintah daerah sangat penting sekali untuk membuat mapping atau database terkait proses berangkat dan pulang ke sekolah. Agar tidak lagi terjadi anak-anak SD bergelantungan untuk menyebrang sungai kemudian seperti yang terjadi di Luwu,” ujarnya.
Untuk diketahui, siswa SDN 478 Barowa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel), harus bertaruh nyawa menyeberangi sungai dengan rakit yang terbuat dari gabus demi bisa ke sekolah karena jembatan penyeberangan rusak diterjang banjir.
Menurut Dede, permasalahan ini adalah persoalan infrastruktur, bukan permasalahan kualitas pendidikan. “Jadi harap dibedakan. Dan memang sebaiknya sekolah-sekolah yang sulit dijangkau itu dipindah ke lokasi yang mudah dijangkau," sebutnya.
View this post on InstagramBaca juga:
- Siswa SD Sekolah Pakai Rakit Bukan Cuma Ada di Luwu, Komisi V: Yang Dekat dengan Ibu Kota Juga Banyak
- Siswa di Luwu Bertaruh Nyawa Naik Rakit Demi Bisa Sekolah Jadi Bukti Kesenjangan Pembangunan
- Karnaval Produk Kreatif, Depan Kampus ISI Yogyakarta hingga Pasar Seni Gabusan Ditutup Besok
- Konsisten Berkomitmen dalam Pelestarian Satwa Liar,TSI Terima Penghargaan MATFA
"Lalu kemudian tentunya adalah sekolah yang sudah tidak layak jangan lagi dipergunakan sebagai sekolah, harus segera dipindahkan ke sekolah baru," imbuh Dede.
Selain soal akses ke sekolah, Legislator dari Dapil Jawa Barat II itu juga menyoroti banyaknya infrastruktur pendidikan di Indonesia yang sudah tidak lagi memadai, khususnya di daerah-daerah. Dede mengatakan, rasio jumlah sekolah dengan jumlah penduduk Indonesia tidak sebanding karena banyak bangunan yang sudah usang atau rusak.
“Sayang ya sekolah sekolah kita ini, ada yang namanya SD Inpres yang dibangun pada tahun 1970-an, mungkin saat ini sebagain besarnya sudah runtuh. Itu sebabnya banyak sekali sekolah tidak berfungsi, kalaupun berfungsi sudah ada di beberapa daerah yang sulit ditembus,” paparnya.
Dede juga tak habis pikir mengapa masih banyak sekolah yang berada di lokasi yang sulit diakses siswa maupun guru. Maka lagi-lagi, hal ini menjadi pekerjaan rumah Pemda dalam hal pendataan secara komprehensif agar siswa tidak kesulitan saat hendak menempuh pendidikan.
"Kan mustinya dulu saat menetapkan sekolah dicari lokasi yang ada rasa aman, nyaman dan mudah dijangkau,” ucapnya.
"Jika memiliki data yang sekolahnya sulit diakses karena minim infrastruktur dan harus dipindah, bisa diusulkan pembuatan sekolah baru. Kalau tidak, akan terjadi terus setiap saat kita melihat adik-adik kita sekolah dengan cara yang kurang pas," tambah Dede.
Selain peran Pemda dalam melakukan pendataan terkait infrastruktur penunjang pendidikan yang kurang memadai, Dede juga menekankan pentingnya memperkuat peran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Inovasi (Kemendikbudristek) dalam hal pembangunan infrastruktur pendidikan.
Dede memaparkan, saat ini anggaran untuk fasilitas dan pembangunan infrastruktur penunjang pendidikan ada di ranah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR).
"Akibatnya PUPR hanya membangun ruang kelas baru atau sekolahnya saja tapi tidak lagi memikirkan bagaimana perjalanan menuju sekolahnya dan Kemendikbudristek tidak lagi mempunyai alokasi anggaran untuk memperbaiki jalan," jelasnya.
Jika semua anggaran diamanahkan ke KemenPUPR, Dede tidak yakin pembangunan akan fokus terhadap infrastruktur penunjang pendidikan. Oleh karenanya, ia meminta agar kewenangan pembangunan sekolah, ruang kelas baru, serta penunjang pendidikan dikembalikan kepada Kemendikbud.
“Sehingga dari situ kita bisa tau dari Dapodik (Data Pokok Pendidikan) bahwa sekolah ini tidak layak. Tapi sekarang anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik ataupun dukungan fisik untuk sekolah fasilitas dan sarana pendidikan sudah ditarik ke (Kementerian) PUPR,” terang Dede.
Komisi di DPR yang membidangi urusan pendidikan itu menyadari, merealisasikan program tersebut memang membutuhkan rencana jangka panjang. Namun, kata Dede, harus ada evaluasi agar kualitas pendidikan di Indonesia tidak terhambat.
“Di undang-undang ada yang namanya 8 standar pendidikan, di dalamnya itu ada sarana pra sarana menyangkut infrastruktur, ini mestinya harus kita penuhi dulu,” tegasnya.
Di sisi lain, Dede berpandangan Kemendikbud tidak perlu tergesa-gesa memulai program digitalisasi pendidikan. Sebab, ada banyak hal yang perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum sampai pada lompatan format pendidikan dengan sistem digital.
“Saya harus sampaikan, saat ini Kemendikbudristek menginginkan lompatan konsep pendidikan menuju era digitalisasi aplikasi platform dan lain sebagainya. Menurut saya tidak boleh terburu-buru karena kita harus membagi format pendidikan kita disesuaikan dengan demografi,” ujar Dede.
“Kalau tidak akibatnya akan ada yang tertinggal dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman atau perkembangan sesuai di kota-kota besar,” lanjutnya.
Agar terciptanya pendidikan yang merata di seluruh Tanah Air, Dede menilai Kemendikbud harus memiliki kategori gugus atau pengelompokan pendidikan yang disesuaikan di tiap-tiap daerahnya. Dengan begitu, seluruh peserta didik mendapatkan pendidikan yang setara.