Kusni Kasdut Merampok di Museum Nasional dalam Sejarah Hari Ini, 31 Mei 1961

JAKARTA – Sejarah hari ini, 62 tahun yang lalu, 31 Mei 1961, penjahat kelas kakap, Ignatius Waluyo alias Kusni Kasdut dan koleganya –Herman, Budi, dan Sumali-- merampok Museum Nasional. Perampokan itu berhasil dengan Kusni membawa koleksi 11 permata. Seisi Jakarta pun gempar dibuatnya.

Sebelumnya, Kusni dikenal sebagai pejuang kemerdekaan. Ia aktif membela Tanah Air dengan bergerilya melawan Belanda. Namun, jasanya tak lagi digunakan negara setelah Indonesia paripurna merdeka. Kusni pun mulai menjajal dunia hitam.

Perang Revolusi mampu membakar semangat segenap rakyat Indonesia. Mereka tak mau kembali dijajah Belanda. Apalagi diperas bak sapi perah. Keengganan itu membuat rakyat Indonesia berani angkat senjata. Kusni, apalagi.

Ia membaktikan seluruh hidupnya untuk perjuangan dan bergabung dengan gerakan rakyat dari Front Jawa Timur. Tugasnya beragam. Alih-alih hanya menenteng senjata, Kusni justru diminta pula untuk mencari dana revolusi.

Dana itu dibutuhkan untuk perjuangan melawan Belanda. Kusni pun punya ajian sendiri. Ia melanggengkan opsi perampokan ke rumah tuan tanah. Langkahnya kerap berhasil mendatangkan keuntungan. Dana revolusi yang dikumpulkan Kusni bejibun.

Kusni Kasdut (kiri) ketika ditahan Polisi. (Perpusnas)

Ia pun mendapatkan julukan Si Kancil. Kadang kala ia dijuluki pula sebagai Robin Hood. Julukan itu didapat karena Kusni konon tak menyerahkan seluruh dana untuk revolusi semata, tetapi juga untuk membantu kaum miskin.

Citra itu membuat nama Kusni kesohor di antara rekan-rekannya. Semua berubah kala Perang Revolusi (1945-1949) berakhir. Jasanya tak lagi digunakan oleh negera.

“Satu waktu pemerintah mengadakan rasionalisasi angkatan bersenjata. Nasib sial menghadang Kusni. Dia termasuk seorang di antara 500 eks Tentara Pelajar yang harus bèrhenti. Alasannya tak diberitahu, pokoknya saya jadi susah,” urainya.

“Beberapa kali Kusni mondar-mandir ke Jakarta menghubungi instansi yang tugasnya memang menyalurkan tenaga bekas pejuang. Tapi hasilnya kosong. Yang ada cuma janj-janji saja, padahal waktu itu saya sudah berkeluarga. Punya anak satu. Habis akal, bersama beberapa kawannya melakukan pemerasan di Surabaya. Beberapa kali nasibnya mujur,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Dijual: Mebel Buatan Kusni Kasdut (1977).

Kusni terpukul ketika jasanya tak digunakan lagi. Sebab, ia tak memiliki banyak keahlian. Ia pun kemudian memutuskan untuk masuk ke dunia gelap. Ia melanggengkan segalanya untuk mendapatkan uang. Dari memeras, merampok, hingga membunuh.

Pun salah satu aksinya yang paling dikenang adalah perampokan di Museum Nasional. Museum yang dikenal juga sebagai Museum Gajah itu dianggap Kusni memiliki barang-barang yang bernilai. Dari intan hingga permata.

Kusni pun langsung melanggengkan perampokan bersama gerombolannya pada 31 Mei 1961. Ia mengajak koleganya Herman, Budi, dan Sumali untuk terlibat. Mereka kemudian menggunakan mobil curian ke Museum Nasional dan berhasil membawa lari 11 permata koleksi museum.

“Nama Kusni makin berkibar dan dikenal pencuri benda seni. Pada 31 Mei 1961 Kusni merampok Museum Nasional yang akrab disebut Museum Gajah. Dalam melaksanakan aksinya itu, Kusni menyamar dengan mengenakan seragam polisi, lalu masuk ke museum.”

“Kemudian menyandera pengunjung dan menembak mati seorang petugas museum. Ia lalu membawa lari 11 Permata koleksi museum. Kusni kemudian ditangkap saat menjual hasil jarahannya itu di Semarang,” tutup Hukman Reni dalam buku Heboh Bali Nine: Eksekusi Sindikat Narkoba Australia (2015).