Penderita Sifilis Meningkat 70 Persen dalam 5 Tahun, Kemenkes: Hindari Perilaku Seks Berisiko

JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta seluruh masyarakat untuk tetap setia pada pasangan masing-masing dan menghindari perilaku seks yang berisiko sebagai upaya mencegah penularan penyakit sifilis meluas.

“Saya mengimbau pasangan yang sudah menikah agar setia dengan pasangannya untuk menghindari seks yang berisiko. Bagi yang belum menikah agar menggunakan pengaman menghindari hal-hal yang dapat berisiko untuk kesehatan dan pertumbuhan mental,” kata Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril dilansir ANTARA, Kamis, 11 Mei.

Syahril mengingatkan sifilis atau penyakit raja singa merupakan sebuah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri bernama Treponema Pallidum. Sifilis tidak hanya dapat menular melalui hubungan seksual antara pasangan atau sesama jenis saja, melainkan juga dari ibu ke anak yang belum lahir.

Belum lagi penularan bisa terjadi akibat perilaku berhubungan seksual yang berisiko, seperti tidak menggunakan pengaman berupa kondom serta berhubungan anal atau oral seks yang dilakukan pasangan sesama jenis.

Berdasarkan data Kemenkes dari tahun 2016 hingga 2022, jumlah orang yang terkena sifilis meningkat dari 12 ribu kasus menjadi hampir 21 ribu kasus. Dengan terjadi penambahan rata-rata 17.000 hingga 20.000 kasus.

Kemudian dalam kasus ibu hamil, hanya ada sekitar 40 persen ibu hamil dengan sifilis yang berhasil diobati. Padahal sifilis bisa menulari anak yang dikandung melalui plasenta atau aliran darah. Selain itu juga berpotensi menularkan dan menimbulkan cacat pada anak yang dilahirkan.

Dengan demikian Syahril meminta masyarakat untuk bekerja sama memutus mata rantai sifilis antar generasi, dengan segera melakukan skrining, menghindari seks tanpa pengaman, dan menghapus stigma buruk tentang pasien sifilis sehingga pasien bersemangat untuk terus berobat.

“Sifilis juga bisa menulari seorang anak atau bayi melalui ASI yang diberikan ibunya. Jadi kita perlu waspada, jangan ada ibu hamil yang tidak terdeteksi sifilis. Apabila ada dugaan perilaku seksual (berisiko dilakukan) kepada yang bersangkutan atau pasangan, itu harus segera diskrining,” kata Syahril.

Dikonfirmasi secara terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi menambahkan pihaknya sudah membuka akses layanan IMS hingga ke perifer.

Pengobatan program IMS sudah merambah hingga puskesmas terjauh di Indonesia dan Kemenkes sudah intensifikasi pelatihan untuk IMS dan juga layanan HIV.

Ia mengatakan pada semua ibu hamil dilakukan skrining HIV, sifilis, dan hepatitis B, yang disebut dengan program triple eliminasi pada ibu hamil dengan menyasar ibu rumah tangga dan penemuan kasus aktif pada laki-laki pelanggan seks yang bergejala IMS.

“Pada daerah lain yang mengalami penularan sifilis tinggi di populasi kunci, seperti misalnya laki-laki yang melakukan seks dengan laki-laki (LSL) pun, telah kami lakukan notifikasi pasangan pada kasus sifilis, dan penemuan serta pengobatan kasus dini sehingga menurunkan angka kesakitan dan penularan. Alat diagnosis sifilis juga tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan berikut untuk pengobatannya,” kata Imran.