Kasus BRIN dan Muhammadiyah: Tak Cukup Bermodal Intelektual, Bermedsos Juga Butuh Kebijaksanaan
JAKARTA – Komentar peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, Andi Pangeran Hasanuddin di Facebook menuai hujatan. Sebagai Aparatur Sipil Negara tak sepantasnya Andi melayangkan pernyataan kecaman dalam perdebatan publik mengenai metode hisab dan rukyat dalam penentuan Hari Raya Idulfitri. Toh, pemerintah saja sangat menghargai perbedaan itu.
Andi dalam komentarnya bahkan mempertunjukkan sikap arogansi dan congkak.
"Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian," tulis Andi.
“Kalian Muhammadiyah, meski masih jadi saudara seiman kami, rekan diskusi lintas keilmuan tapi kalian sudah kami anggap jadi musuh bersama dalam hal anti-TBC (takhayul, bidah, churofat) dan keilmuan progresif yang masih egosektoral. Buat apa kalian berbangga-bangga punya masjid, panti, sekolah, dan rumah sakit yang lebih banyak dibandingkan kami kalau hanya egosentris dan egosektoral saja?” Andi dalam komentar lanjutannya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Ma’mun Murod heran bagaimana bisa peneliti BRIN dengan intelektualitasnya berkomentar seperti preman.
“Kok main2 ancam bunuh? BRIN sbg lembaga riset hrsnya diisi mereka yg menampakkan keintelektualannya, bkn justru spt preman,” cuit Ma’mun di akun twitternya pada 24 April lalu.
Ancaman membunuh dalam perspektif etika deontologi, menurut penulis buku ’Etika Komunikasi di Era Siber’, Fajar Junaedi, adalah pelanggaran besar dan fundamental terhadap kemanusiaan.
Etika deontologi adalah pandangan yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan kepatuhan pada peraturan.
Mengancam membunuh yang secara vulgar ditulis di ruang publik media sosial juga menunjukkan adanya banalitas kejahatan, situasi yang menganggap kejahatan membunuh sebagai sesuatu yang banal atau sangat biasa.
“Apa yang dilakukan oleh APH (Andi Pangeran Hasanuddin) adalah praktek normalisasi dari banality of evil yang diinisiasi oleh atasannya TD (Thomas Djamaluddin). Secara etika, perilaku mereka tidak mencerminkan karakter akademik. Melekat dengan sumpah jabatan sebagai ASN, perilaku mereka jelas melanggar etika,” kata Fajar kepada VOI pada 26 April 2023.
Thomas Djamaluddin adalah astronom dan peneliti BRIN yang menjabat juga sebagai Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Dalam berbagai forum, kata Fajar, TD memang diketahui selalu menyerang Muhammadiyah. Begitu pula saat di Facebook pada 21 April lalu, Thomas mengunggah foto bertuliskan ‘Menjawab Pertanyaan Publik: Mengapa Tetap Rukyat, walau Hilal Tak Mungkin Teramati? Mengapa Perlu Sidang Itsbat?’.
Akun Aflahal Mufadilah mengomentari, “Akhirnya, hanya tanya, kurang bijaksana apa pemerintah kita? Di tengah perbedaan yg melanda, sebab seglintir umat Islam memilih teguh berbeda, pemerintah jua masih menyeru semua bertenggang rasa."
Thomas menjawab komentar Aflahan: “Sdh tidak taat keputusan pemerintah, eh masih minta difasilitasi tempat shalat ied. Pemerintah pun memberikan fasilitas.”
Kemudian, Andi dengan nama akun AP Hasanuddin muncul dalam kolom komentar dengan menuliskan ancaman pembunuhan kepada warga Muhammadiyah.
Pernyataan Andi dan Thomas tersebut dalam perspektif relasi kuasa dan pengetahuan, menurut Fajar, juga dapat diartikan sebagai upaya membatasi bahkan mengebiri penggunaan metode hisab yang telah lama dilakukan Muhammadiyah, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.
“Pengetahuan yang tidak sesuai kuasa dianggap tidak normal dan mesti dihambat. Padahal, pemerintah saja memberi kebebasan,” ucap dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut.
Minta Maaf
Andi telah meminta maaf. Dia mengaku pernyataan bernada ancaman tersebut muncul akibat emosi sesaat ketika melihat unggahan Thomas Djamaluddin diserang sejumlah pegiat Facebook.
“Saya meminta maaf sebesar-besarnya kepada pimpinan dan seluruh warga Muhammadiyah yang merasa tersinggung dengan komentar saya tersebut. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan semacam ini lagi di waktu-waktu mendatang,” ucap Andi dalam pesan tertulisnya pada 23 April 2023.
Melalui akun Facebooknya, Thomas Djamaluddin juga meminta maaf. Menurutnya, tidak ada kebencian atau kedengkian terhadap Muhammadiyah sedikitpun dalam hatinya. Bagaimanapun, Muhammadiyah merupakan aset bangsa yang telah memberikan andil besar dalam sejarah perjuangan bangsa.
Baca juga:
Yang diutarakannya hanyalah sikap kritis terhadap kriteria wujudul hilal yang dianggap Thomas sudah usang secara astronomi. Serta, sikap ego organisasi yang menghambat dialog menuju titik temu.
“Niat saya hanya mendorong perubahan untuk bersama-sama mewujudkan kesatuan umat secara nasional lebih dulu,” ucapnya pada 24 April lalu.
“Saya mengulang-ulang setiap ada perbedaan hari raya untuk mengingatkan bahwa perbedaan ini mestinya bisa diselesaikan, tidak dilestarikan. Sekali lagi saya mohon maaf dengan tulus kepada pimpinan dan warga Muhammadiyah atas ketidaknyamanan dan kesalahfahaman yang terjadi,” imbuhnya.
Butuh Etika dan Kedewasaan
Perkembangan dunia digital memang telah mengubah sistem pola pikir, cara berbicara, dan gaya bertindak manusia. Dewasa ini banyak orang bisa menggunakan alat komunikasi modern, tetapi tidak sanggup mengendalikan diri dalam menggunakannya.
Artinya, tak cukup hanya mengandalkan kecerdasan intelektual, menyikapi perkembangan dunia digital, khususnya media sosial juga perlu kebijaksanaan dan etika.
Kebijaksanaan itu, menurut William Chang dalam buku ‘Etika & Etiket Komunikasi’, mencakup penggunaan sarana komunikasi yang seperlunya, tidak terbawa arus secara emosional, kritis menanggapi tawaran, dan mengambil jarak seperlunya.
Sebab, apapun yang dikomunikasikan lewat media sosial akan menjadi bahan konsumsi umum.
“Komunikasi di media sosial bukanlah komunikasi antarpribadi. Sekali unggah di media sosial kita tidak bisa menarik atau bahkan menghapus jejaknya. Maka penting untuk memilah dan memilih apa yang hendak diunggah. Poin pentingnya adalah literasi digital terutama bagi siapapun, termasuk pejabat,” Fajar menuturkan.
Akademisi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Moeflich H. Hart menilai kasus Thomas Jamaluddin hanya persoalan cara berkomunikasi.
Komunikasi adalah media untuk menyampaikan ilmu agar bisa diterima dan bermafaat bagi orang lain. Komunikasi yang benar adalah ciri kematangan ilmu seseorang.
Banyak ilmu disampaikan dengan cara yang salah. Salah dalam berilmu menunjukkan kurang bacaan, salah dalam komunikasi menunjukkan kurang dewasa.
Ilmu yang benar bila disampaikan dengan komunikasi yang salah bisa jadi masalah. Ilmu yang salah tapi disampaikan dengan komunikasi yang benar, bisa tak jadi masalah.
“Dari kasus provokasi Thomas Jamaluddin sebagai profesor astronomi terkenal, kita mendapatkan ilmu tentang pentingnya kedewasaan berkomunikasi sebagai refleksi kematangan diri, bukan hanya sekadar ilmu,” ucap Moeflich dalam unggahannya di akun Facebooknya pada 26 April 2023.