Aset PLN Baru 30 Persen yang Bersertifikat, Perusahaan Setrum Minta Bantuan KPK Halau Korupsi
JAKARTA - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyebutkan bahwa perseroan memiliki setidaknya 93 ribu bidang tanah yang harus dilegalkan dan disertifikasi. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 30 persen atau sekitar 28 ribu yang telah bersertifikat dan sah secara hukum.
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan hingga penutupan tahun lalu tanah perseroan yang bersertifikat telah bertambah sebanyak 20 ribu bidang tanah.
“Sehingga secara kumulatif jumlah bidang tanah yang bersertifikat menjadi sekitar 45,7 persen,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin, 18 Januari.
Zulkifli menambahkan, capaian PLN tersebut tidak lepas dari dukungan dari KPK dalam pencegahan korupsi dan penyelamatan aset negara.
“Kami sangat bangga dan beruntung KPK memilih PLN sebagai BUMN prioritas dalam penyelamatan aset-aset negara,” tuturnya.
Bos perusahaan setrum itu berharap sinergitas ini dapat terus berlanjut sehingga sertifikasi aset negara yang dipercayakan kepada PLN dapat meningkat menjadi 60 persen pada akhir tahun ini dan menjadi 100 persen pada akhir 2023.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyampaikan apresiasinya atas kinerja PLN pada sepanjang tahun lalu.
Menurut pemimpin lembaga anti rasuah itu, langkah strategis PLN ini merupakan bagian dari layanan publik yang memiliki peranan penting bagi bangsa Indonesia.
Baca juga:
"Meski di tengah pandemi COVID-19, PLN terus memiliki andil besar untuk mewujudkan tujuan nasional, antara lain memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa," ucap Firli.
Terkait upaya pencegahan korupsi khususnya melalui tata kelola dan sertifikasi aset perusahaan, Firli terus meminta PLN untuk melanjutkan program tersebut. Ke depan Firli juga berharap, PLN dapat terus meningkatkan upayanya dalam melakukan pencegahan korupsi.
"Kami titip sebagai upaya pencegahan, whistleblowing system harus dijalankan, agar siapapun bisa melaporkan ketika terjadi potensi korupsi. Begitu juga dengan unit pengendali gratifikasi," tegas Firli.