Lanjutkan Upaya Rekonsiliasi Iran-Arab Saudi: Presiden Raisi Undang Raja Salman ke Teheran

JAKARTA - Iran secara resmi mengundang Raja Salman dari Arab Saudi untuk mengunjungi Teheran, setelah China menengahi kesepakatan pada Maret untuk mengakhiri puluhan tahun permusuhan antara dua rival regional itu.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani mengonfirmasi undangan tersebut pada Hari Senin, mengatakan undangan Raja Salman ke Teheran akan bersyarat sebagai imbalan atas undangan ke Riyadh oleh Saudi.

"Presiden Iran (Ebrahim Raisi) telah mengirimkan undangan kepada raja Saudi sebagai imbalan atas undangan dari Riyadh untuknya," kata Nasser Kanaani dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, melansir Middle East Eye 17 April.

Setelah bertahun-tahun permusuhan yang memicu konflik di Timur Tengah, Iran dan Arab Saudi setuju untuk mengakhiri keretakan diplomatik mereka, membuka kembali misi diplomatik mereka pada bulan Maret.

Sebelumnya, Presiden China Xi Jinping membantu menengahi kesepakatan mengejutkan yang meninggalkan Amerika Serikat di sela-sela.

Awal bulan ini, Menteri Luar Negeri Arab Saudi dan Iran bertemu di Beijing untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun. Segera setelahnya, kedua negara mengeluarkan pernyataan bersama yang mengumumkan akan membuka kembali kedutaan mereka satu sama lain dalam waktu dua bulan.

Delegasi juga sepakat untuk "memperluas" pembicaraan bilateral mereka untuk membahas "masalah penting".

Sejak itu, kantor berita Tasnim Iran mengatakan kedua negara berencana untuk bertukar tim teknis untuk membahas pendirian kedutaan satu sama lain dalam waktu dua bulan.

Diketahui, Hubungan diplomatik antara Riyadh dan Teheran telah tegang sejak Arab Saudi mengeksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr tahun 2016, seorang kritikus monarki Arab Saudi dan puluhan pendukungnya.

Serangan oleh pengunjuk rasa Iran terhadap Kedutaan Besar Arab Saudi setelah eksekusi, mendorong Riyadh untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.

Ketegangan antara kedua negara meninggi sejak saat itu, mengingat perang mematikan yang dipimpin Arab Saudi terhadap gerakan Houthi yang berpihak pada Iran di Yaman yang dimulai pada tahun 2015, serta kematian ratusan jemaah haji Iran dalam penyerbuan pada tahun yang sama.

Sebagai bagian dari perjanjian yang ditandatangani bulan lalu, kedua belah pihak "menekankan penghormatan terhadap kedaulatan dan tidak mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain" dan setuju untuk melaksanakan perjanjian kerja sama keamanan yang ditandatangani pada tahun 2001.

Kesepakatan itu secara luas dilihat sebagai kemenangan diplomatik bagi China di Kawasan Teluk, yang dianggap Amerika Serikat sebagai wilayah pengaruhnya.