Ingatkan Taipei, Sembilan Jet Tempur China Gelar Patroli Tempur Lintasi Garis Tengah Selat Taiwan
JAKARTA - Sembilan jet tempur China melintasi garis tengah Selat Taiwan pada Hari Jumat untuk melakukan patroli kesiapan tempur, kata Kementerian Pertahanan Taiwan, beberapa hari setelah Beijing mengancam akan melakukan pembalasan terhadap Taipei jika Presiden Tsai Ing-wen bertemu dengan Ketua DPR Amerika Serikat Kevin McCarthy.
Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan, sembilan pesawat China melintas di titik-titik di utara, tengah dan selatan garis tengah selat, yang digunakan sebagai penyangga tidak resmi antara kedua belah pihak.
Angkatan bersenjata Taiwan merespons dengan menggunakan pesawat dan kapalnya sendiri, untuk memantau situasi dengan menggunakan prinsip "tidak meningkatkan konflik atau menyebabkan perselisihan", kata kementerian itu.
"Pengerahan kekuatan militer komunis dengan sengaja menciptakan ketegangan di Selat Taiwan, tidak hanya merusak perdamaian dan stabilitas, tetapi juga berdampak negatif pada keamanan regional dan pembangunan ekonomi," kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters 31 Maret.
Kementerian tersebut mengutuk apa yang disebutnya sebagai "tindakan yang tidak rasional".
Sementara itu, tidak ada tanggapan langsung dari China terkait patroli tempur tersebut.
Sementara itu, seorang pejabat senior Taiwan yang akrab dengan perencanaan keamanan mengatakan kepada Reuters, pesawat-pesawat China hanya "sedikit" melanggar garis median, dan tidak ada pergerakan yang tidak biasa dari kapal-kapal China yang dihentikan.
China menggelar latihan perang di sekitar Taiwan pada Bulan Agustus lalu, setelah kunjungan Ketua DPR AS ketika itu Nancy Pelosi ke Taipei, dan terus melanjutkan kegiatan militernya di dekat Taiwan sejak saat itu meskipun dalam skala yang lebih kecil.
Pejabat Taiwan tersebut mengatakan, China tidak mungkin mengulangi latihan besar seperti itu karena mereka berada di tengah-tengah "serangan tebar pesona" terhadap para pemimpin politik dan bisnis asing, dan eskalasi ketegangan militer akan mengirimkan "pesan yang bertentangan" kepada dunia.
"Karena itu, kami telah melakukan semua persiapan jika China bereaksi secara tidak rasional," kata sumber tersebut.
"Semakin banyak masyarakat internasional memperhatikan Taiwan, semakin marah mereka," sambungnya.
Berbicara kepada para wartawan di Taipei pada Hari Jumat, Perdana Menteri Chen Chien-jen mengatakan, Taiwan adalah sebuah "negara demokratis" yang memiliki hak untuk keluar ke dunia.
"Saya berharap China tidak akan menemukan dalih untuk memprovokasi," katanya, ketika ditanya tentang ancaman pembalasan Beijing.
"Ekspansi otoriter China sebenarnya akan menyebabkan masalah yang tidak perlu, jadi kami di sini sekali lagi membuat seruan ini, berharap China dapat mengurangi tindakan provokatifnya," tukasnya.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Tsai tiba di New York, Amerika Serikat pada Hari Rabu, persinggahan dalam perjalanan resminya ke Amerika Tengah.
Baca juga:
- Kondisi Paus Fransiskus Terus Membaik, Tapi Dikabarkan Tidak akan Memimpin Kebaktian Paskah Tahun Ini
- Presiden Putin Tandatangani Dekret Wajib Militer Musim Semi untuk Angkatan Bersenjata Rusia, Bakal Ada Mobilisasi Lagi?
- Presiden Putin Tandatangani Dekret Wajib Militer Musim Semi untuk Angkatan Bersenjata Rusia, Bakal Ada Mobilisasi Lagi?
- Atap Bangunan Kuil di India Runtuh dan Menimpa Jemaah: 35 Orang Tewas, 16 Luka-luka
Dia diperkirakan akan bertemu McCarthy di Los Angeles, saat singgah kali kedua di Negeri Paman Sama, dalam perjalanan kembali ke Taipei pada Bulan April. Menanggapi itu, China pada hari Rabu mengancam pembalasan yang tidak disebutkan jika pertemuan itu terjadi.
Diketahui, China, yang mengklaim Taiwan yang diperintah secara demokratis sebagai wilayahnya sendiri meskipun ada penolakan keras dari pemerintah pulau itu, telah marah dengan apa yang dilihatnya sebagai peningkatan dukungan AS untuk Taiwan.
Sementara, Tiongkok tidak pernah secara resmi mengakui garis tengah, yang dirancang oleh seorang jenderal AS pada puncak permusuhan Perang Dingin di tahun 1954, meskipun Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China sampai saat ini sangat menghormatinya.