Banyak Masyarakat Pilih Berobat ke Luar Negeri, IDI Minta Pemerintah Tekan Biaya Layanan Kesehatan

JAKARTA - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Adib Khumaidi mengatakan pilihan masyarakat berobat ke luar negeri, sebagai kritik terhadap organisasi profesi dokter di Indonesia, yang membutuhkan peran pemerintah dalam membenahi persoalan.

"Ini kritikan buat kami dan negara juga perlu menaruh perhatian pada masalah pembiayaan yang perlu peran serta negara menekan pembiayaan," kata Adib Khumaidi saat menghadiri Peringatan 3 Tahun Pandemi COVID-19 di Menteng, Jakarta dilansir ANTARA, Kamis, 9 Maret.

Di tengah berbagai persoalan di sektor layanan kesehatan, kata Adib, kualitas SDM dokter di Tanah Air justru lebih baik dari luar negeri.

Hal itu dibuktikan dengan kemampuan dokter di Indonesia yang berhasil menyelesaikan masalah kesehatan pada pasien BPJS Kesehatan yang kini mendominasi di fasilitas layanan kesehatan.

Menurut Adib, dokter Indonesia mampu menyelesaikan permasalahan penyakit, seperti gangguan jantung, operasi pemasangan ring jantung atau bypass, hingga pasien dengan keluhan ortopedi.

"Ada beberapa pasien saya ke luar negeri, dia dioperasi, terus di Indonesia habis uangnya, tidak ada biaya, tapi pakai BPJS Kesehatan bisa," katanya.

Adib mengungkapkan, ketentuan pajak layanan kesehatan, sistem efisiensi biaya pada program BPJS Kesehatan, hingga kemampuan berkomunikasi, masih menjadi persoalan di sektor layanan kesehatan dalam negeri yang memicu keputusan masyarakat memilih berobat ke luar negeri.

Menurut Adib, pemerintah perlu memperhatikan dan mengevaluasi penetapan pajak pada layanan kesehatan, sebab menjadi menjadi salah satu pemicu perbedaan tarif layanan dengan rumah sakit di luar negeri.

Selain itu, prosedur clinical pathway sebagai referensi ilmiah pada pasien BPJS Kesehatan, menyebabkan proses diagnosa penyakit terbatas pada analisa dan pemeriksaan fisik. Berbeda dengan layanan di RS luar negeri yang bersifat menyeluruh.

"Kami bisa lakukan seperti itu (RS luar negeri), tapi pasien datang sebagai pasien umum atau dengan BPJS Kesehatan yang memang ada penyesuaian clinical patway. Ini harus dipahami masyarakat," katanya.

Seluruh hasil pemeriksaan terhadap pasien, kata Adib, kemudian disesuaikan dengan prosedur Pedoman Praktik Klinis (PPK) untuk mengukur efisiensi biaya.

"Kalau tidak melakukan clinical pathway dan penyesuaian PPK, nanti ada ketidakefisiensian pembiayaan, kita lihat juga dari sisi BPJS," katanya.

Adib mengatakan, kemampuan komunikasi yang dijalin antara dokter dan pasien menjadi hal penting yang perlu dibenahi.

"Dokter di Indonesia perlu mendengarkan keluhan pasien melalui komunikasi yang baik. Saat ada beberapa keluhan yang tidak tersampaikan dan anggapan dokter tidak mendengarkan, kemudian ada kesan itu," katanya.

Komunikasi yang baik, kata Adib, mampu menciptakan hubungan yang baik dengan pasien, meskipun ia harus menunggu giliran memperoleh tindakan medis.