Penduduk Tokyo Khawatir Olimpiade Jadi Pembawa Virus

JAKARTA - Setelah Tokyo menerapkan keadaan darurat untuk kedua kalinya Jumat ini, banyak penduduk kota itu yang merasa berat dan bahkan mustahil bisa menggelar Olimpiade 2021 dengan aman.

Pemerintah Jepang dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) Maret tahun lalu sudah memutuskan menunda Olimpiade Tokyo selama satu tahun akibat pandemi COVID-19.

Ajang olahraga multievent global itu dijadwalkan tinggal sekitar 200 hari lagi, mulai 23 Juli sampai 8 Agustus.

Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga menegaskan tekadnya untuk tetap menggelar Olimpiade ini.

Namun begitu jajak pendapat yang diadakan stasiun televisi NHK bulan lalu menunjukkan sepertiga penduduk negara itu ingin Olimpiade tersebut dibatalkan karena khawatir banjirnya orang asing ke negaranya saat perhelatan itu digelar bisa kian menaikkan kasus infeksi COVID-19.

Dalam jajak pendapat yang sama, 31 persen responden mendukung penundaan lagi, sedangkan 27 persen lainnya menyatakan Olimpiade harus diselenggarakan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan.

"Saya kira sulit. Mustahil menggelar Olimpiade," kata Tatsuhiko Akamasu yang berusia 75 tahun yang Jumat ini mengunjungi Tokyo dari Saitama dilansir Antara.

"Tinggal dua setengah bulan lagi pawai obor Olimpiade. Saya kira kami tidak akan bisa mengendalikan virus selama periode ini."

Pawai obor Olimpiade yang biasanya menandai hitung mundur Olimpiade akan dimulai di Fukushima pada 25 Maret.

"Saya kira lebih mungkin kami tidak akan bisa mengadakan Olimpiade dan pada beberapa hal saya lebih memilih pemerintah membuat keputusan untuk membatalkannya," kata Hisashi Miyabe yang berusia 74 tahun seperti dilaporkan Reuters.

Sekitar 15.000 atlet dari seluruh dunia diperkirakan datang ke Tokyo demi Olimpiade ini dan ini membuat mereka khawatir atlet-atlet itu membawa virus mutasi baru ke Jepang.

"Saya kira interaksi antar manusia akan membuat semakin cepat menyebarnya virus corona, dan kemungkinan besar virus bisa bermutasi jika jumlah infeksi bertambah. Saya merasa itu agak mengerikan," kata mahasiswa berusia 23 tahun bernama Yuki Furusho.