Review Album Eternal [Mogensoll]: Perjalanan Rasa Menuju Keabadian
JAKARTA - Pernahkah kamu merasa ngantuk saat mendengarkan musik metal? Jika iya, apakah kesan tersebut membuat musik metal itu jadi seolah-olah buruk? Jawabannya bisa kalian simak melalui rentetan kalimat di bawah.
Sejak Mogensoll hadir di kancah musik nasional, referensi genre post-metal yang masih terbilang jarang di Indonesia jadi bertambah. Bukan tanpa alasan. Selain masih asing bagi kebanyakan penikmat musik metal, genre ini juga lebih menekankan permainan atmosfer dan emosi pada lagu. Bisa jadi, dua faktor itulah yang bikin para musisi Tanah Air takut untuk mengusung genre ini.
Untuk itu, pertama-tama kami ingin mengapresiasi lebih dulu atas apa yang Morgensoll tawarkan lewat album Eternal yang dirilis di pengujung Januari kemarin. Sebab, selain karena keberanian, kualitas komposisi dalam album ini juga memikat.
Album ini hanya memiliki empat lagu instrumental. Namun, durasinya mencapai kurang lebih 40 menit di mana setiap lagunya mempunyai judul sendiri-sendiri.
Tapi, perlu diingat. Kami tidak membaca semua judul lagu dalam album ini ketika sedang merotasinya sampai habis. Karena dengan melakukan itu, kami tidak dibatasi oleh judul saat mendengarkannya. Sehingga secara tidak langsung, kami memborgol ruang interpretasi pada panca indera kami.
Langsung saja. Dimulai dari trek pertama yaitu Adhiapora. Ketika ambience-nya sedang dibangun secara perlahan, tiba-tiba raungan gitar tebal dan penuh menyambar gendang telinga. Namun, anehnya, justru kesan yang didapat adalah damai. Sampai-sampai membuat kami sedikit mengantuk. Apalagi, lagu ini ditutup dengan outro yang megah.
Untungnya, kami dibangunkan oleh lagu kedua berjudul Familiar Changes. Kali ini dimulai dengan nuansa yang lebih gelap serta diiringi suara bisikan sehingga suasana jadi lebih tegang. Entah mengapa, pada bagian ini kami merasa seperti terisap ke dalam suatu lubang yang tiada habisnya.
Vokal scream dari Ekrig (Avhath) alias Satan’s Heir dalam lagu ini terdengar seperti instrumen musik. Namun, sangat disayangkan tidak ada lirik yang tertulis. Apalagi vokalnya scream. Percuma saja jika ingin menyampaikan pesan lewat vokal, tapi malah tak menyertakan lirik. Alhasil, ujung-ujungnya kami menangkap pesan lagu ini lewat bahasa musik juga.
Kemudian, menuju akhir lagu, suara gitar terasa lebih berisik hingga menghasilkan ending yang menyambung ke lagu berikutnya, Euthanasia. Sebagai informasi, euthanasia adalah tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan penderitaan seseorang dengan mengakhiri hidupnya. Tanpa membaca lebih dulu arti dari kata itu, kami merasa lirih ketika mendengar lagu ini.
Baca juga:
- Ternyata Steve Vai Merekam Banyak Lagu Bareng Ozzy Osbourne, tapi...
- Waduh! Jari Travis Barker Cedera Lagi, Padahal Tur Reuni Blink-182 Makin Dekat
- Ini Kesulitan Tantri Nyanyikan Lagu Religi Candu dalam Rindu
- Roger Waters Kecam Jurnalis yang Bilang Dia Tak Suka Solo Gitar David Gilmour dalam The Dark Side Of The Moon
Instrumen drum pada lagu ini memiliki tempo yang lebih dinamis. Patut diakui, Bagas sang drumer sangat terampil memberi aksen pada lagu ini. Menjelang akhir, rasa lirih seketika sirna dan berganti menjadi bentuk perenungan.
Pergantian rasa itu juga turut dirasakan lewat lagu selanjutnya yang memiliki arti ‘menyesali’, yaitu Getun. Pada lagu ini, kami merasakan kepedihan yang dalam. Namun, menuju akhir lagu, rasa itu berganti menjadi bentuk keikhlasan. Kami pun memiliki pertanyaan besar lewat transformasi rasa itu. Apalagi pada menit ke 11:40 sampai ke 15:02 kami benar-benar merasakan kehampaan.
Namun, jika dirangkai dari perjalanan rasa lagu pertama ke terakhir, sepertinya album ini mengisahkan seseorang yang sedang memikirkan keputusan secara matang-matang untuk mengakhiri masalah dalam hidupnya sampai akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri.
Dengan melakukan itu, ia ikhlas meninggalkan semuanya. Tapi, di sisi lain, ia juga menyesalinya. Karena, ketika sedang menuju keabadian, ternyata ia merasakan kesepian yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kehidupannya di dunia. Ya, itu hanyalah interpretasi kami terhadap album ini.
Tapi, yang jelas, album ini memiliki teknis pengolahan sound yang menawan. Dan jika didengarkan pada malam hari dengan memejamkan mata, album ini terasa lebih menghujam.
Selain itu, kami juga tak menyangka, Bagas yang biasanya bermain dengan tempo lebih cepat pada lagu-lagu hardcore, dalam album ini bisa memberi aksen sesuai dosis demi keberlangsungan suasana yang dibangun.
Sehingga, hal itu terbukti bahwa Morgensoll lebih menunjukkan kepiawaiannya bermain atmosfer dan konsep, ketimbang hanya memberikan isian drum, riff, atau lead guitar rumit agar terkesan ‘jago’ saja.