Tiga Sektor Utama Lesu, Reformasi Ekonomi Perlu Digenjot
JAKARTA - Reformasi ekonomi diperlukan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen.
Peneliti Senior Centre of Strategic and International Studies (CSIS) Haryo Aswicahyono menyatakan, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup kuat pada 2022, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun-tahun berikutnya sedikit di bawah 5 persen.
“(Melihat) tren pertumbuhan ekonomi dari 2011 sampai 2022, ada kecenderungan tren yang menurun,” ucap dia mengutip Antara, Jakarta, Senin, 20 Februari
Lebih lanjut, dikatakan bahwa ada pelemahan terhadap tiga sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022, yakni konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor.
Berdasarkan data, tren konsumsi rumah tangga menurun dari 5,49 persen pada 2012, 5,04 persen pada 2019 atau sebelum pandemi COVID-19, dan menurun kembali menjadi 4,93 persen pada 2022.
“Kita masih recovery, belum mencapai puncaknya, karena misalnya di agrikultur masih banyak pengangguran,” ungkapnya.
Penurunan yang cukup tajam terjadi pula dalam investasi dari 9 persen pada 2012, 4,45 persen persen pada 2019 atau sebelum pandemi, dan menurun kembali menjadi 4,39 persen pada 2022.
Haryo menganggap penurunan investasi cukup mengkhawatirkan mengingat adanya penurunan perekonomian dalam jangka panjang terhadap sumber-sumber pertumbuhan yang utama.
Adapun pertumbuhan ekspor sebenarnya membaik dari 2012 ke 2021, tetapi sedikit melemah pada 2022.
Baca juga:
Untuk pertumbuhan leading sector (yang paling besar kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto/PDB), yakni industri pengolahan, perdagangan, dan pertanian, juga menunjukkan tren kurang baik.
Misalnya, terjadi perubahan struktural atau realokasi dari sektor pertanian yang terlihat sangat melemah yang berpindah terutama ke sektor jasa dan manufaktur.
“Sektor pertanian produktivitasnya rendah dan pindahnya ke sektor jasa yang juga rendah produktivitasnya. Manufaktur menurun, tapi jasa hampir selalu di atas manufaktur yang artinya perubahan strukturnya tidak mendukung peningkatan produktivitas. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana manufaktur tumbuh pesat di era sebelum krisis pandemi,” kata Haryo.