Melihat Dampak Dihentikannya Penerbangan dari dan ke China
JAKARTA - Kementerian Perhubungan resmi menghentikan sementara penerbangan dari dan ke China yang berlaku sejak Rabu 4 Februari dini hari pukul 00.00 WIB sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya antisipasi pemerintah untuk melakukan pencegahan penyebaran virus corona.
Kemenhub tengah melakukan inventarisir terkait dampak-dampak yang ditimbulkan akibat dari penundaan pesawat tersebut. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira melihat, ada kekhawatiran akan berdampak bagi Indonesia dari sisi pertumbuhan wisatawan mancanegara.
"Pertumbuhan wisman tahun 2020 diperkirakan akan negatif. Data tahun 2019 pertumbuhan wisman hanya 1,8 persen anjlok dari 12,5 persen di tahun sebelumnya. Karena Indonesia mengandalkan wisman dari China, ketika penerbangan terputus, jumlah wisman secara total akan drop," jelas Bhima kepada VOI, Rabu 5 Februari.
Wisatawan asal China merupakan yang terbanyak ketiga mengunjungi Indonesia di tahun lalu. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), wisman asal China berjumlah 2,07 juta kunjungan atau 12,86 persen dari total kunjungan wisman ke Tanah Air di tahun 2019.
Baca juga:
Bhima menambahkan, dampak lainnya yakni sektor pariwisata akan lesu, dan itu akan memicu lonjakan Non Performing Loan (NPL) bank khususnya di Bali dan Lombok. Kemudian, lanjut dia, pendapatan daerah dan penerimaan pajak turun, PHK massal sektor perhotelan, restoran dan pusat-pusat perbelanjaan.
"Devisa pariwisata yang sebelumnya diandalkan untuk menggantikan berkurangnya penerimaan ekspor justru kini bermasalah," tuturnya.
Lebih lanjut kat Bhima, investasi yang mengandalkan modal dan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China akan terhambat realisasinya. "Misalnya proyek kereta api cepat, dan smelter nikel di Morowali yang rentan mengalami penurunan operasional karena TKA-nya kesulitan masuk ke Indonesia. Imbasnya ke realisasi total tahun 2020 akan lebih rendah," jelas Bhima
Sementara itu Pengamat pariwisata dari Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung Haryadi Darmawan Haryadi menambahkan, dihentikannya penerbangan dari dan menuju China akan berdampak jangka pendek seperti menurunnya jumlah wisatawan karena secara kuantitas jumlah wisatawan asal negeri tirai bambu tersebut adalah salah satu yang terbesar.
"Memang wisatawan China secara kuantitas itu besar, namun ini bisa menjadi peluang untuk mendapatkan quality tourist (turis dengan pengeluaran yang besar). Pada umumnya turis dari wilayah Eropa, Timur Tengah dan Rusia," ujar Haryadi.
Sebagai informasi, BPS mencatat kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 16,11 juta sepanjang 2019. Angka tersebut meleset dari target Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebanyak 18 juta kunjungan. Angka 18 juta kunjungan itu merupakan revisi dari target sebelumnya sebesar 20 juta wisman.
"Kalau dibandingkan pada 2018 terjadi kenaikan tipis sebesar 1,82 persen yakni dari 15,81 juta kunjungan, sehingga kita masih punya pekerjaan rumah untuk meningkatkan terus kedatangan wisman ke Indonesia," kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Senin 3 Februari.
Jumlah kunjungan wisman ini terdiri atas wisman yang berkunjung melalui pintu masuk bandar udara sebanyak 9,83 juta kunjungan, pintu masuk pelabuhan laut sebanyak 4,16 juta kunjungan, dan pintu masuk jalan darat sebanyak 2,11 juta kunjungan.
Adapun selama 2019, wisman yang datang dari wilayah Amerika memiliki persentase kenaikan paling tinggi, yaitu sebesar 14,16 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan, kunjungan wisman dari wilayah Asia selain ASEAN memiliki persentase penurunan paling besar, yaitu sebesar 10,3 persen.
Sementara menurut kebangsaan, kunjungan wisman yang datang ke Indonesia selama 2019 paling banyak berasal dari Malaysia sebanyak 2,98 juta kunjungan (18,51 persen), diikuti Tiongkok 2,07 juta kunjungan (12,86 persen), Singapura 1,93 juta kunjungan (12,01 persen), Australia 1,39 juta kunjungan (8,61 persen), dan Timor Leste 1,18 ribu kunjungan (7,32 persen).