Badai Musim Dingin Melanda Perusahaan Digital dan PHK Jadi Pilihan Para Taipan

JAKARTA – Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus menerjang perusahaan teknologi dunia. Banyak yang meyakini kondisi ini akan terus berlanjut paling cepat hingga kuartal ketiga tahun 2023.

Elon Musk sudah mengambil langkah lebih dulu. Sejak resmi mengakuisisi Twitter Inc pada 27 Oktober 2022, Musk melakukan efisiensi dengan melakukan pengurangan karyawan demi menstabilkan finansial perusahaan.

Kabarnya lebih dari 70 persen karyawan hengkang dari Twitter, baik di-PHK maupun mengundurkan diri hingga kemungkinan hanya tersisa 2.250 karyawan saat ini.

CEO Alphabet, Sundar Pichai pun tak punya pilihan lain. Pada 2023, induk perusahaan Google ini juga sudah bersiap melakukan PHK secara bertahap. Pichai menargetkan 6 persen karyawannya atau sekitar 12 ribu karyawan. Namun, investor Google dan miliarder hedge-fund Christopher Hohn menyarankan efisiensi yang lebih besar.

Hohn mengacu dari periode sebelumnya, ketika jumlah karyawan Google meningkat hingga lebih dari 100 ribu karyawan dalam lima tahun terakhir. Sehingga angka pengurangan karyawan yang tepat, menurut dia adalah 20 persen atau sekitar 150 ribu karyawan.

Sejak Elon Musk mengakuisi Twitter pada Oktober lalu, sebanyak 70 persen karwayan kabarnya memutuskan hengkang, baik di-PHK maupun mengundurkan diri. (Fox)

Tak hanya itu, Hohn juga menyarankan Google untuk merevisi kompensasi karyawan yang berdasar data 2021 mencapai lebih dari 300 ribu dolar AS. Hohn menganggap, “Ini terlalu berlebihan. Persaingan untuk bakat di industri teknologi telah turun secara signifikan sehingga Alphabet seharusnya dapat mengurangi kompensasi per karyawan secara signifikan.”

“Secara khusus, Alphabet harus membatasi kompensasi berbasis saham mengingat harga saham yang tertekan," tambah Hohn.

Pichai juga mengindikasikan akan memangkas kompensasi dan bonus tahunan yang diterima jajaran eksekutif.

“Ini adalah momen penting untuk mempertajam fokus kami, merekayasa ulang basis biaya kami, dan mengarahkan talenta dan modal kami ke prioritas tertinggi,” kata Pichai seperti dikutip Bloomberg.

Sama halnya dengan CEO Microsoft, Satya Nadella. Dalam memonya, dia menginformasikan akan membuat perubahan besar dalam bisnis perusahaan demi menyesuaikan kondisi terkini. Kemungkinan 10 ribu pekerja akan mengalami PHK secara bertahap hingga kuartal ketiga 2023.

“Mau tak mau kami harus memangkas biaya di tengah ketidakpastian ekonomi. Di sisi lain, kami juga ingin fokus ke artificial intelligence,” kata Nadella seperti dikutip dari New York Times.

Ilustrasi – Perusahaan teknologi besar Silicon Valley telah melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah karyawannya. (Pixabay)

Begitu juga CEO Amazon, Andy Jassy. Meski telah mengurangi 10 ribu karyawan pada 2022, kondisi keuangan perusahaan ternyata belum mampu berada di titik aman. Alhasil, dia pun kabarnya akan kembali melakukan PHK terhadap 18 ribu karyawannya.

"Amazon telah melewati ekonomi yang tidak pasti dan sulit di masa lalu, dan kami akan terus melakukannya. Perubahan ini akan membantu kami mengejar peluang jangka panjang kami dengan struktur biaya yang lebih kuat," tuturnya.

Nasib yang sama juga menimpa perusahaan teknologi lainnya, seperti Meta, Salesforce, Cisco, Snap, dan lainnya.

Masa Perubahan

Fenomena tersebut, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, memang sangat mengejutkan. Terjadi secara tiba-tiba tanpa pola yang bisa diprediksi sebelumnya.

Perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih praktis mendorong industri teknologi digital kian bertumbuh. Bahkan semakin pesat selama era pandemi COVID-19, ketika hampir seluruh masyarakat menaati aturan pembatasan fisik.

Perusahaan teknologi bak kebanjiran untung. Mereka mempekerjakan lebih banyak orang untuk menghadirkan fitur-fitur baru.

Misalnya saja Google yang membuat perubahan cepat pada platform konferensi video Google Meet untuk mengakomodasi lebih banyak peserta  selama pandemi. Lalu, Meta pada produk konferensi video WhatsApp. Perubahan cepat seperti ini tentu membutuhkan banyak tenaga berpengalaman.

Namun ternyata, kata Bhima, kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Pascapandemi, gaya hidup masyarakat berangsur normal seperti sedia kala, tak terlalu full online. Yang lebih menyulitkan lagi, kondisi perekonomian global tak kunjung membaik, bahkan cenderung terpuruk.

Pendapatan iklan dan layanan premium perusahaan teknologi terus menurun karena ancaman resesi ekonomi terutama basis pelanggan di negara seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Perusahaan teknologi di sektor ecommerce, fintech, dan agritech masih menghadapi tekanan cukup besar. (Co Well)

Belum lagi kenaikan inflasi dan tren penyesuaian suku bunga yang membuat investor bertindak lebih berhati-hati, bahkan cenderung menghindari pembelian aset perusahaan teknologi karena dianggap terlalu berisiko.

Alhasil, beberapa perusahaan melihat situasi ekonomi saat ini sebagai kesempatan untuk menutup lini usaha yang tidak menjanjikan atau tidak profit.

“Dampaknya kemudian terjadi PHK. Tren konsolidasi perusahaan teknologi global ini masih akan berlanjut setidaknya hingga kondisi membaik, bisa sampai awal 2024,” ucap Bhima kepada VOI, Kamis (26/1).

Di Indonesia, badai PHK di perusahaan teknologi sudah berlangsung sejak tahun lalu. Menerjang GoTo, Ruangguru, Shoppe, Sirclo, SiCepat, Tokocrypto, Tanihub, dan banyak lagi perusahaan rintisan.

Kondisinya bahkan terus bergejolak hingga saat ini. Menurut Bhima, “Masih menghadapi tekanan cukup besar, khususnya pada sektor ecommerce, fintech, dan agritech.

“Jangan kaget bila nantinya jarang lagi ada promo atau diskon-diskon menarik. Jadi, konsumen membayar lebih mahal layanan digital dari sebelumnya,” lanjutnya.

GoTo menjadi salah satu perusahaan digital di Indonesia yang melakukan PHK terhadap karyawan. (gotocompany.com)

Kondisi tersebut, kata Bhima, tentu berdampak juga terhadap sektor informasi komunikasi, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), hingga penjualan kendaraan bermotor.

“Misal UMKM yang punya akun di platform ecommerce, pendapatan mereka  bisa turun hingga 10-15 persen selama winter startup digital,” tambah Bhima.

Itulah mengapa, sebagai penopang perekonomian Indonesia, pelaku UMKM juga harus jeli melihat situasi saat ini.

“Yang harus dilakukan adalah tidak hanya berjualan di satu platform. Bisa digabung misalnya dengan live sales di media sosial, seperti di TikTok atau Instagram, bisa juga dipadukan dengan kembali membuka toko fisik, karena masyarakat kembali lagi belanja secara fisik, maka mode penjualan juga harus berubah dibanding saat pandemi,” imbuhnya.

Kendati begitu, seperti yang sudah diberitakan VOI, Direktur Segara Insitute Piter Abdullah menganggap itu hanya siklus bisnis. Masa depan industri teknologi digital akan terus menjanjikan. 

Mungkin memang belum pada tahap yang normal saat ini. Namun, dia tetap optimistis, “Tahun ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya."