Memaknai Momen Tahun Baru Imlek Sebagai Implementasi Nilai Keberagaman

JAKARTA – Tahun Baru Imlek, menurut Ester Indahyani Jusuf, tak pernah lepas dari kisah heroik mantan Presiden Republik Indonesia ke-4, Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meski pemerintahannya hanya berjalan singkat, Gus Dur mampu melakukan banyak hal luar biasa untuk bangsa dan negara.

Sejak Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dan kemudian menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000, masyarakat Tionghoa di Indonesia bisa memperoleh kebebasan menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka.

Gus Dur, kata Ester, telah memperlihatkan bagaimana dia mampu mengaplikasikan nilai-nilai keberagaman dalam Pancasila. Menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional agar masyarakat Tionghoa dapat lebih khusyuk menjalankan adat istiadatnya bersama keluarga dan masyarakat.

Masyarakat, khususnya anak-anak Tionghoa bisa lebih mengenal budayanya, menyaksikan langsung atraksi barongsai yang sebelumnya hanya dapat mereka lihat di film. Itulah mengapa, kata Ester, momen Tahun Baru Imlek harus dimaknai sebagai momen keberagaman.

Masyarakat Singkawang, Kalimantan Barat turut serta dalam perayaan Cap Go Meh beberapa tahun lalu, tradisi dan budaya membaur menjadi simbol keberagaman antar etnis. (Antara/David/aww)

“Meski sosok Gus Dur sudah tidak ada, tetapi semangat keberagaman dan nilai-nilai yang ditanamkan itu harus tetap ada dan terpelihara pada kita semua,” ucap wanita yang dikenal sebagai Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut kepada VOI, Senin (23/1).

Terlebih saat ini, kondisi ketika politik identitas seolah masih terus menghantui. Ester mengatakan, “Kita tentu tidak ingin kejadian-kejadian pelanggaran HAM tragis masa lalu terulang kembali. Mari bersikap kritis, perbanyak literasi, lawan segala bentuk diskriminasi terhadap segala perbedaan.”

Sebab, fondasi Indonesia adalah keberagaman, saling menghargai antara sesama, dan gotong royong. Bila ingin Indonesia menjadi bangsa yang besar, nilai-nilai tersebut harus ditanamkan, tak sebatas untuk masyarakat Tionghoa, tetapi juga untuk seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan agama.

“Tidak individualistis dan tidak bersikap hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan. Semua harus saling membaur. Dalam kebhinnekaan semua harus saling mendukung, bergotong royong,” tuturnya.

Bukan Sebatas Slogan

Begitu pula pemerintah harus terus mengampanyekan nilai-nilai tersebut lewat kebijakan struktural, sehingga pesan keberagaman dapat melekat di masyarakat dan bukan hanya sebatas slogan.

Contoh kecil terkait sekolah homogen, sekolah khusus untuk etnis dan agama tertentu. Orangtua memang memiliki hak asasi untuk menyekolahkan anak-anaknya di mana saja. Namun, pilihan mengelompok tanpa membuka diri ke yang lain ini juga sangat berbahaya. Bertolak belakang dari nilai keberagaman.

“Dalam konteks ini, pemerintah harus mengambil peran. Bisa lewat wadah khusus pertemuan antar murid dari sekolah-sekolah homogen tersebut atau cara lainnya. Sehingga, upaya mewujudkan nilai keberagaman bukan sebatas harapan. Kalau tidak ada gerakan struktural atau kultural untuk melakukan perubahan di sini, selamanya akan tetap sama,” Ester menjelaskan.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000, sehingga masyarakat Tionghoa di Indonesia bisa memperoleh kebebasan menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadat mereka. (Twitter)

Sebab, pada era media sosial saat ini, menanamkan penyakit sosial seperti feodalisme dan rasialisme cenderung sangat mudah dilakukan, terlebih di tengah kondisi masyarakat yang minim literasi. Menurut Ester, “Bila ini diabaikan oleh pemerintah, diterima oleh masyarakat, dan terus menjadi kebiasaan. Dampaknya sangat buruk bagi Indonesia ke depannya.”

Yonky Karman, pengamat sosial dan pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, mengakui orang bebas bergerak dengan mengenakan baju ‘massa’ untuk menyatakan aspirasi, melampiaskan ketidakpuasan, mengintimidasi pihak lain. Sesudah itu, orang merasa bebas merusak, menjarah, bahkan mengambil nyawa orang lain. Kedaulatan rakyat sudah bergeser menjadi kedaulatan massa.

“Entitas massa tentu saja berbeda dari entitas rakyat. Massa adalah entitas sosial yang tidak selalu mengacu kepada nurani. Mudah diboncengi motif-motif primordial dan kaum oportunis. Lain dengan nurani rakyat dengan rasa keadilannya yang obyektif, aspirasinya harus diperjuangkan,” Yonky menuliskan dalam buku ‘Merayakan Hidup dalam Keberagaman: Bagaimana Bersikap di Tengah Masyarakat Majemuk’

Nilai Pancasila

Itulah mengapa, menurut Romo Antonius Benny Susetyo, Pancasila harus menjadi nilai dan sumber etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai dasar dalam bertindak, bernalar, dan berpikir. Hingga akhirnya tercermin dalam tindakan.

"Nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Manusia yang percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, maka dia tidak mau berbohong, menipu, menindas orang. Dia akan mempunyai rasa kemanusiaan, sehingga memelihara persatuan. Nilai kerakyatan pun dijunjung tinggi dengan keadilan yang terwujud pada akhirnya," katanya kepada VOI, Senin (23/1).

Romo Antonius  Benny Susetyo berharap momentum Tahun Baru Imlek menjadikan semua Warga Negara Indonesia lebih memahami arti keberagaman. (VOI/Bunga Ramadani)

Lewat momen Tahun Baru Imlek ini, Benny pun berharap semua warga negara Indonesia bisa lebih memahami arti keberagaman. Sejatinya, Imlek juga aktualisasi dari nilai-nilai Pancasila.

“Merupakan perayaan kebersamaan, persaudaraan seluruh anak-anak bangsa. Tradisi dan budaya membaur sehingga tidak ada jarak lagi dan menjadi bagian dari keindonesiaan,” imbuh Romo Benny, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).