Kasus Kematian Mahsa Amini: Perbandingan Soal Hijab dan Hak Perempuan di Iran dan Arab Sudi
JAKARTA - Kematian Mahsa Amini (22) menimbulkan kemarahan. Ribuan penduduk Iran di sejumlah kota melakukan unjuk rasa selama satu pekan pasca Amini meninggal pada 16 September 2022. Bentrokan antara pengunjuk rasa dan petugas keamanan tak terhindarkan.
Unjuk rasa awalnya hanya sebagai bentuk solidaritas, meminta Polisi Moral Iran mengungkap perihal kematian wanita berdarah Kurdi tersebut. Pihak yang berkuasa mengatakan Mahsa Amini mengalami pingsan ketika menjalani ’pendidikan ulang’ di pusat penahanan akibat penyakit jantung dideritanya. Dia koma dan meninggal dunia tiga hari kemudian.
Namun, menurut berita Emtedad, outlet media proreformasi Iran, pihak keluarga menyangkal. Amini tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Yang lebih mencurigakan, keluarga tidak boleh melihat jasad Amini secara utuh ketika akan dimakamkan.
"Mereka berbohong. Mereka berbohong. Semuanya bohong ... tidak peduli berapa banyak saya memohon, mereka tidak akan membiarkan saya melihat putri saya," kata Amjad Amini, ayah Mahsa Amini kepada BBC Persia.
Setelah aksi unjuk rasa semakin besar, tuntutan tidak hanya mengadili para Polisi Moral tetapi juga melebar ke aturan penggunaan hijab. Mahsa Amini awalnya ditangkap Polisi Moral karena disebut tak mengenakan hijab dengan sempurna pada 13 September saat berkunjung ke Teheran. Amini adalah perempuan muda yang tinggal di Kota Saqqez, Provisi Kurdistan, Iran bagian barat laut.
Para pengunjuk rasa mulai menyuarakan kebebasan untuk kaum perempuan dengan mengatasnamakan hak asasi manusia. Meminta pemerintah mencabut aturan yang mewajibkan wanita mengenakan hijab ketika berada di tempat umum.
“Perempuan, hidup, kebebasan,” teriakan para pengunjuk rasa.
Puluhan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Unjuk rasa tersebut kabarnya merupakan yang terbesar sejak 2019, ketika pasukan keamanan menindak keras para pengunjuk rasa yang menentang kenaikan harga bahan bakar minyak.
"Kami semua sedih dengan insiden tragis ini. Tetapi, kekacauan tidak dapat diterima," kata Presiden Iran Ebrahim Raisi, dalam wawancara dengan stasiun televisi pemerintah yang dilansir Reuters, pada 29 September 2022.
"Garis merah pemerintah adalah keamanan rakyat kami. Kami tidak bisa membiarkan orang-orang mengganggu kedamaian masyarakat melalui kerusuhan," Raisi menambahkan.
Tak hanya di dalam negeri, kematian Mahsa Amini juga memunculkan reaksi keras dari sejumlah pihak. Majalah mingguan Prancis Charlie Hebdo sampai membuat kontes pembuatan karikatur Pemimpin Agung Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei pada Desember 2022 sebagai bentuk dukungan kepada pria dan wanita Iran yang mempertaruhkan hidup. Mempertahankan kebebasan melawan teokrasi yang telah menindas mereka sejak Revolusi Iran pada 1979.
Karikatur yang diterbitkan Charlie Hebdo pada 4 Januari lalu juga pada akhirnya dianggap sebagai bentuk protes yang kebablasan. Gambar yang ditampilkan dalam karikatur yang dipilih cenderung menghina Pemimpin Besar Iran.
"Tindakan menghina dan tidak senonoh dari publikasi Prancis dalam menerbitkan kartun melawan otoritas agama dan politik tak akan berjalan tanpa tanggapan yang efektif dan tegas," cuit Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amirabdollahian pada 4 Januari 2023.
"Kami tidak akan membiarkan pemerintah Prancis melampaui batasnya. Mereka pasti telah memilih jalan yang salah," tambahnya.
Kondisi di Arab Saudi
Pelanggaran terhadap aturan hijab di Iran, menurut penasihat The Indonesia Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar, sebagian bukan untuk menentang ajaran Islam, tetapi hanya dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim.
Sebab, selama 43 tahun pasca revolusi, rezim belum bisa menghadirkan kemajuan sosial politik dan kemakmuran rakyat kendati Iran adalah salah satu negara produsen minyak dan gas terbesar di dunia.
Kehidupan ekonomi, khususnya, lebih buruk dibandingkan dengan pada era Dinasti Pahlevi. Secara sosial, ruang gerak rakyat terbatas, terutama bagi kaum perempuan.
“Dari sisi politik, rezim juga membatasi kebebasan berpendapat serta ketiadaan media massa yang independen dan partai politik. Sektor ekonomi juga sangat memprihatinkan,” kata Smith dalam tulisannya bertajuk ‘Teokrasi Iran dan Dimensi Politik Hijab’ di Kompas.
Berbeda dengan Arab Saudi. Meski sebelumnya juga memiliki aturan ketat soal hijab dan cara berpakaian, negara penghasil minyak ini mampu menjaga perekonomian negaranya tetap stabil. Sehingga, hampir tidak ada catatan khusus mengenai perlawanan warga terhadap aturan tersebut.
Bahkan, Putra Mahkota Muhammad bin Salman dalam wawancara dengan media Inggris, The Guardian pada 2017 bertekad akan membawa Arab Saudi ke corak moderat, terbuka terhadap dunia dan semua agama.
Bin Salman menilai doktrin kaku yang mendominasi hampir semua lini kehidupan selama 30 tahun terakhir ‘tidak normal.’ Deutsche Welle menulis, para pemimpin monarki di masa lalu tidak tahu bagaimana bereaksi terhadap Revolusi Islam Iran, dan memilih ideologi tertutup untuk melindungi kerajaan dari hantu revolusi dari seberang Teluk Persia.
"Apa yang terjadi di 30 tahun terakhir bukan Arab Saudi. Apa yang terjadi di kawasan ini selama 30 tahun terakhir bukan Timur Tengah. Setelah Revolusi Iran 1979, orang ingin meniru model ini di berbagai negara, salah satunya Arab Saudi. Kami tidak tahu bagaimana menanggapinya. Dan masalahnya kini menyebar ke seluruh dunia," tutur sang pangeran.
"Sekarang saatnya mengubah itu semua," tuturnya.
Bin Salman ingin Arab Saudi menjadi pusat dunia Arab dan Islam, kekuatan investasi dunia, dan pusat yang menghubungkan tiga benua, yakni Asia, Afrika, dan Eropa.
Sejauh ini, Arab Saudi telah membuat terobosan dalam hak sipil dengan mengizinkan perempuan mengemudi dan berperan serta menyukseskan program-program pembangunan di segala bidang. Termasuk mengizinkan para perempuan bisa bekerja dengan memakai busana yang disukai selama mereka tetap menjaga kesopanan. Terkecuali di kota suci Mekah dan Madinah.
"Sederhananya kami ingin mengembalikan apa yang kami ikuti. Islam moderat yang terbuka terhadap dunia dan semua agama. Sebanyak 70 persen penduduk Saudi berusia lebih muda ketimbang 30 tahun. Kami sejujurnya tidak ingin menghabiskan 30 tahun lagi memerangi pandangan esktremis, kami akan menghancurkannya sekarang juga dan sesegera mungkin," tulis Deutsche Welle.
Dalam Islam, hukum perempuan menutup aurat adalah wajib. Namun, yang menjadi perbedaan penafsiran adalah batas aurat. Perbedaannya, seperti disarikan dari buku ‘Problematika Fikih Kontemporer’ karya Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, tergantung dengan siapa wanita itu berhadapan.
Aurat perempuan ketika berhadapan dengan Allah SWT (sholat) adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangannya. Ketika berhadapan dengan yang bukan mahramnya, ulama sepakat batasan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan, dan kedua telapak kaki.
Berbeda dengan ketika berhadapan dengan mahramnya, menurut Syafi’iyyah, aurat perempuan adalah sama dengan laki-laki yaitu antara pusar sampai lutut.
Terkait penggunaan hijab, Bin Salman berpendapat, "Keputusan sepenuhnya diserahkan kepada wanita untuk memutuskan jenis pakaian apa yang layak dan sopan yang dia pilih untuk dipakai."
Baca juga:
- Ketika Pemimpin Agung Iran Menjadi Olok-Olok Charlie Hebdo karena Penindasan Hak Perempuan
- Paus Benediktus XVI dan Sikapnya terhadap Kasus Pelecehan Seksual, Homoseksual, serta Legalisasi Aborsi di Irlandia
- Soal Banjir, Jakarta dan Semarang Punya Cerita Serupa
- Kasus Malika: Tak Mudah Menghilangkan Trauma Korban Penculikan Anak