Kepemilikan Asing di Surat Berharga Negara Tersisa 14,8 Persen, Presiden Jokowi: Rentan Pengaruhi Nilai Tukar Rupiah Kalau Dikuasai Asing

JAKARTA - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun dengan porsi saat ini hanya sebesar 14,8 persen.

“SBN saat itu (2014-2015) sebesar 38,5 persen dikuasai oleh asing, sekarang tinggal 14,8 persen yang dikuasai asing,” kata Presiden Jokowi di acara Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2023, dikutip Antara, Rabu 21 Desember.

Menurut Presiden, jika kepemilikan SBN dikuasai oleh investor asing maka nilai tukar rupiah akan rentan terkena volatilitas ketika ekonomi makro domestik terguncang.

Selain itu, kata Presiden, saat ini neraca transaksi berjalan Indonesia di kuartal III 2022 juga telah surplus 8,9 miliar dolar AS atau sebesar 0,9 persen Produk Domestik Bruto.

Pemerintah, kata Presiden, terus menjalankan reformasi struktural untuk memperkuat stabilitas perekonomian.

Presiden menceritakan pada 2014-2015, Indonesia masih masuk sebagai fragile five. Istilah tersebut mengacu pada negara berkembang yang rentan terhadap guncangan ekonomi karena besarnya pengaruh investasi asing.

Saat periode 2014-2015 juga terjadi taper tantrum atau kondisi gejolak ekonomi global yang disebabkan kebijakan moneter ketat bank sentral Amerika Serikat.

Pada 2014 itu, defisit transaksi berjalan atau indikator arus perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan mancanegara menunjukkan defisit sebesar 27,5 miliar dolar AS dan menurun menjadi 17,5 miliar dolar AS pada 2015. Presiden membandingkan data tersebut dengan neraca transaksi berjalan Indonesia yang saat ini telah mencatatkan surplus 8,9 miliar dolar AS pada kuartal III 2022.

“Oleh sebab itu, saat itu saya sampaikan kita harus berani mengubah ini, reformasi struktural kita agar hal-hal yang membahayakan ekonomi makro kita ini bisa kita lakukan (antisipasi),” ujar Presiden.

Presiden mengatakan dirinya setiap pagi selalu meminta data-data terbaru terkait perekonomian kepada jajaran menteri. Dia enggan hanya menerima pernyataan secara normatif tanpa ada bukti dan data konkret mengenai perbaikan ekonomi.

“‘Pak ini sudah lebih baik', ya angkanya berapa ? bukan ya, ya, ya. Angkanya saya minta dari berapa ke berapa, karena itu penting sekali,” kata Presiden Jokowi.