19 Desember dalam Sejarah: Soekarno Gelorakan Trikora
JAKARTA - Tepat hari ini, 19 Desember 1961, Soekarno mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Alun-alun Utara, Yogyakarta. Trikora digelorakan oleh Bung Karno untuk membakar semangat rakyat Indonesia merebut kembali Irian Barat.
Orang nomor satu Indonesia itu mengamanatkan gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, dan mempertahankan keutuhan tanah air.
“Irian Barat yang kala itu dinamai Nederland-Nieuw-Guinea menjadi jajahan Belanda sejak 1828. Indonesia sendiri merdeka pada 1945. Namun Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949. Anehnya, dalam pengakuan kedaulatan itu Belanda tak juga melepaskan Irian Barat,” ungkap Agus Dermawan T, dalam buku Dari Lorong-lorong Istana Presiden (2019).
Seperti yang diketahui, ketiadaan itikad baik Belanda dalam mengembalikan Irian Barat ke Indonesia, jadi pemicu Bung Karno memilih melewan. Sebab, ia yakin benar Irian Barat adalah bagian dari Indonesia.
Alhasil, pidato Bung Karno untuk Trikora ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia di Yogyakarta. Rakyat Indonesia kala itu tampak berduyung-duyun berkumpul di lapangan alun-alun di muka Keraton, Yogyakarta. Sedangkan untuk rakyat di luar daerah, Bung Karno telah menyiapkan pemancar Radio agar dapat didengar seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga:
“Sekarang saya tanya kepada saudara-saudara, kepada dunia internasional, mengapa pihak Belanda menjadikan Irian Barat sebagai boneka Papua. Belanda menghasut rakyat Irian barat menjalankan satu poliik memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan Negara Papua, mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan zoogenamde,” penggalan isi pidato Trikora Soekarno kala itu.
Dikutip Maulwi Saelan, dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (2001), sambutan rakyat atas Trikora yang dilantangkan Soekarno sangat luar biasa. Alhasil, ribuan rakyat meminta secara sukarela agar dikirim ke Irian Barat untuk berjuang atas nama bangsa Indonesia.
“Namun, akhirnya hanya sekitar lima ratus tentara payung (para troop) diterjunkan di sana. Operasi ini langsung dilancarkan dari Ambon oleh Kesatuan Operasi Komando Mandala di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto dan hanya tinggal menunggu komando yang akan diberikan oleh Presiden Soekarno,” ungkap Maulwi Saelan.
Para pejuang pun berhasil membuat bendera Merah Putih berkibar di Irian Barat. Bendera merah putih berkibar dengan gagahnya setelah mengalami rentetan pertempuran dengan Belanda Pada 31 Desember 1962.
Membangun monumen Atas segala perjuangan itulah Soekarno membangun dua momumen untuk mengenang dan menjaga langgengnya Irian Barat bergabung dengan Indonesia.
Bung Karno pun menginisiasi sebuah patung sebagai bentuk perjuangan pembebasan patung Irian Barat. Patung Pembebasan Irian Barat (1963) dibuat oleh seniman Yogyakarta, Edhi Sunarso. Kami pernah mengulasnya dalam tulisan “Monumen Pembebasan Irian Barat yang Personal bagi Soekarno”. Satunya lagi digubah oleh Matvei Manizer untuk membuat Patung Pahlawan (1963).
Lantaran kepincut karya Manizer, tak lama Bung Karno mengundang Manizer ke Indonesia untuk mencari inspirasi. Manizer pun datang ke Indonesia bersama anaknya, Otto yang akan membantunya merealisasikan Patung Pahlawan.
Soekarno menginginkan sebuah patung untuk menjaga semangat Trikora. Tak lama kemudian, keduanya menjadikan cerita rakyat Jawa Barat tentang seorang ibu yang mengantar anaknya pergi berjuang di medan perang sebagai inspirasi.
“Manizer dan Otto terinspirasi cerita rakyat dari Jawa Barat, yaitu kisah mengenai seorang ibu yang mengantar anaknya pergi berjuang dan memberikan bekal berupa nasi pada anak laki-lakinya. Mereka lalu membuat patung pahlawan dalam bentuk Pak Tani dari bahan perunggu,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
Singkat cerita, patung ini didirikan di Taman Menteng Prapatan dan diresmikan Bung Karno pada 1963. Sejak didirikan Patung Pak Tani banyak mengundang kritik. Misalnya, terkait potongan badan dan raut muka keduanya model patung lebih mirip orang Kaukasia ketimbang orang Indonesia. Kendati demikian, Firman Lubis yang telah hidup di Menteng sejak 1950-an, menganggap hal itu suatu kewajaran, supaya terlihat lebih gagah dan bisa menginspirasi.