Dugaan Pelecehan Seksual di Universitas Gunadarma Depok: Menengok Kembali Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021
JAKARTA - Kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswi Universitas Gunadarma, Depok pada 2 Desember lalu bukanlah kejadian yang pertama. Sebenarnya, menurut laporan @anakgundardotco, banyak mahasiswi Gunadarma lainnya yang mengaku telah menjadi korban sejak dua tahun terakhir. Hanya saja belum terekspos.
“Salah satu alasan kenapa kasusnya belum diunggah di media sosial kami ialah karena belum mendapatkan persetujuan dari korban. Mayoritas korban beralasan belum sanggup atau masih mengalami trauma,” tulis akun media kreatif dan informasi yang dikelola oleh mahasiswa Gunadarma tersebut dalam caption pada 11 Desember 2022.
Tidak hanya mahasiswi Gunadarma, tetapi ada juga korban dari perguruan tinggi lainnya. Ini menegaskan ruang aman bagi perempuan kian sempit. Kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, terutama perguruan tinggi masih saja terjadi.
Pada periode 2017-2021 saja, Komnas Perempuan mencatat sudah ada 35 kasus. Potensi yang tidak melapor mungkin lebih banyak dari yang tercatat. Sebab, tak semua korban punya tekad melaporkan apa yang dialaminya ke pihak kampus, ke polisi, ke lembaga mitra Komnas Perempuan, atau ke lembaga pendampingan korban kekerasan seksual.
Alasannya, menurut Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Baety Adhyati sangat beragam. Bisa karena menerima ancaman dari pelaku, adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku, atau karena stigma di masyarakat.
“Sehingga, banyak kasus yang akhirnya loss. Misal, keluarga pindah akibat stigma dari lingkungan sosialnya, atau kemudian si anak akhirnya keluar atau putus sekolah,” kata Baety dalam konferensi pers secara daring pada Oktober lalu.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), pada 2020, pernah melakukan survei terhadap pendidik dan tenaga kependidikan di sejumlah perguruan tinggi yang berlokasi di wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia.
Hasilnya, 77 persen dosen mengakui pernah terjadi kekerasan seksual di kampusnya. Namun, 63 persen di antaranya memilih tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Sebab, mereka khawatir terhadap stigma negatif dari masyarakat yang akan disematkan kepada penyintas.,
“Survei hanya dosen. Kalau termasuk mahasiswa mungkin angkanya lebih besar lagi,” kata Mendikbud Ristek Nadiem Makarim.
Atas dasar itulah, Kemendikbud Ristek menerbitkan Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
"Kami sebagai pemerintah sudah menyadari bahwa ini adalah situasi gawat darurat. Itulah kenapa kami mengeluarkan Permendikbud soal kekerasan seksual. Dimana-mana sudah terjadi, kita perlu aturan yang tegas. Tidak ada yang namanya pembelajaran kalau tidak ada perasaan keamanan dan kenyamanan di dalam kampus," imbuhnya.
Tujuannya, menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus di perguruan tinggi.
Pencegahan dan Penanganan
Pelecehan seksual dalam Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Meliputi 21 poin, antara lain menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.
Serta, membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.
Terkait itu, perguruan tinggi wajib melakukan pencegahan yang dilakukan melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, dan penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Pembelajaran mencakup mewajibkan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan mempelajari modul pencegahan dan penanganan pelecehan seksual yang ditetapkan oleh kementerian.
Penguatan tata kelola antara lain dengan membentuk satuan tugas, menyusun pedoman pencegahan dan penanganan pelecehan seksual, menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual, melakukan sosialisasi secara berkala, dan memasang tanda informasi yang berisi peringatan bahwa perguruan tinggi tidak menoleransi kekerasan seksual.
“Sedangkan penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dilakukan dengan bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi paling sedikit dalam kgiatan pengenalan kampus, organisasi kemahasiswaan, dan/atau jaringan komunikasi informal mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan,” bunyi Pasal 6 ayat (4) Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
Adapun penanganan pelecehan seksual, diwajibkan melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif, dan pemulihan korban.
“Pendampingan berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, dan/atau bimbingan sosial dan rohani,” bunyi Pasal 11 ayat (2) Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
Sanksi Administratif
Pengenaan sanksi administratif dilakukan dalam hal pelaku terbukti melakukan pelecehan seksual. Ditetapkan dengan keputusan pemimpin perguruan tinggi berdasarkan rekomendasi satuan tugas.
Sanksi administratif terbagi menjadi 3 kategori:
- Sanksi administratif ringan, menurut Pasal 14 ayat (2), berupa teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
- Sanksi administratif sedang, menurut Pasal 14 ayat (3) berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan, atau pengurangan hak sebagai mahasiswa. Meliputi penundaan mengikuti perkualiahan (skors), pencabutan beasiswa, atau pengurangan hak lain.
- Sanksi administratif berat, sesuai Pasal 14 ayat (4) berupa pemberhentian tetap sebagai mahasiswa atau pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik, tenaga kependidikan, atau warga kampus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
Selain itu, perguruan tinggi juga bisa memberi sanksi administratif lebih berat dengan mempertimbangkan beberapa hal, yakni korban merupakan penyandang disabilitas, dampak kekerasan seksual yang dialami korban, dan/atau terlapor atau pelaku merupakan anggota satuan tugas, kepala program studi, atau ketua jurusan.
“Pengenaan sanksi administratif tidak menyampingkan pengenaan sanksi administratif lain dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 18 Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
Baca juga:
- Memaknai Pernikahan Adat Jawa Kaesang dan Erina
- Polemik Alih Fungsi SDN Pondok Cina 1 Menjadi Masjid: Slogan Depok Kota Ramah Anak Hanya Omong Kosong
- Belajar dari Kasus Pelecehan Seksual di Universitas Gunadarma Depok: Kebodohan Dieksploitasi, Seolah untuk Melawan Kejahatan
- Pasca Pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono: Kelakar di Twitter, dari Soal Al Nahyan hingga Keramas
Perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan pelecehan seksual, sesuai Pasal 19 peraturan tersebut, juga dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan keuangan dan sarana lainnya, serta penurunan tingkat akreditasi.
Terkait kasus dugaan pelecehan seksual di Kampus Gunadarma, Wakil Rektor III Universitas Gunadarma Irwan Bastian, pada Rabu (14/12) memastikan, "Bidang Kemahasiswaan akan terus menegakkan tata tertib kehidupan kampus terutama kepada semua pelaku kekerasan seksual di lingkungan Universitas Gunadarma."
Kekerasan seksual, kata Prof. Dr. Topo Santoso dalam buku ‘Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia’ merupakan aktualisasi perbuatan yang mengakibatkan korban kekerasan mengalami kehilangan kehormatan atau martabat kemanusiannya.
Pelecehan seksual utamanya terhadap perempuan juga merupakan manifestasi ketidakadilan sehubungan dengan peran dan perbedaan peran gender. Ketidakadilan yang dimaksud erat kaitannya dengan diskriminasi gender yang berlaku dalam konstruksi masyarakat patriarki.
“Ini jelas penyimpangan dari prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi sebagaimana diakui oleh hak asasi manusia,” imbuhnya.