Bom Bunuh Diri di Polsek Astanaanyar, Bandung: Analisis dari Jenis Bom dan Motif Pelaku
JAKARTA - Aksi bom bunuh diri yang terjadi di Polsek Astanaanyar, Kota Bandung pada 7 Desember 2022 sekira pukul 08.20 WIB menambah panjang daftar insiden ledakan bom sebagai ancaman terorisme di Indonesia. Merangkum data berbagai sumber, paling tidak sudah terjadi lebih dari 30 kali selama era reformasi, baik yang dilakukan secara bunuh diri maupun cara lain.
Sasarannya, bahkan tak hanya pusat-pusat bisnis, tetapi juga mengarah ke tempat ibadah dan institusi negara.
Pada era Soekarno, menurut A.M. Hendropriyono dalam bukunya ‘Dari Terorisme sampai Konflik TNI-Polri’, tercatat hanya dua kali pengeboman, tetapi sasarannya adalah Presiden. Sedangkan pada era Orde Baru pun hanya lima kali terjadi, antara lain dilakukan oleh Ibrahim di Magelang dengan sasaran patung batu Candi Borobudur.
Pengeboman memang salah satu teori militer, tetapi bukan berarti militer saja yang bisa melakukannya. Tujuannya jelas mengganggu ketertiban umum dengan teror yang mengakibatkan massa histeris. Adapun motifnya harus ditelisik lebih jauh.
“Pada masa lalu nyaris semuanya berhasil kita ungkap. Kita semua sangat mengharapkan para pemimpin bangsa kita dapat menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi segenap rakyat Indonesia,” tulis Hendropriyono.
Ada sejumlah hal pokok yang perlu dianalisis. Pertama, kualitas bom pada umumnya, apakah rakitan tradisional ataukah hasil rakitan berteknologi maju, semisal TNT yang menggunakan detonator.
“Jika rakitan tradisional, maka analisis bisa mengarah kepada pelaku dari kalangan masyarakat menengah bawah yang kronologi perangainya selama ini perlu menjadi perhatian,” tulis Hendropriyono dalam bukunya tersebut.
“Jika jenisnya pabrikan, maka mungkin kita bisa menengok juga dari pengalaman Perancis pascadekolonialisasi Aljazair tahun 1962. Pelakunya diketemukan seorang tentara yang tidak rela Aljazair dimerdekakan begitu saja oleh De Gaulle,” mantan Kepala BIN itu menambahkan.
Kedua, modus operandi. Apakah di satu tempat, tersebar, dan apakah berturut-turut atau relatif serempak? Bila iya, analisis dilakukan oleh satu orang, kelompok kecil, atau cabang-cabang di berbagai daerah di Indonesia.
Ketiga, perkiraan tujuan. Lazimnya dianalogikan dengan akibat yang ditimbulkannya. Kalau akibatnya adalah konflik yang menghancurleburkan Indonesia, maka jelas analisisnya adalah kepada golongan yang ingin menghancurkan eksistensi persatuan Indonesia. Tebakan tentunya akan jatuh kepada kelompok separatis.
“Jika akibatnya adalah keberhasilan dari pemaksaan kehendak suatu golongan agar lebih mendominasi golongan lain, maka kembali kepada hasil kronologis pengamatan yang ada pada file intelejen,” lanjutnya.
Keempat, semua tokoh yang dicurigai harus dimonitor komunikasinya dengan berbagai cara sebelum mereka selesai melakukan konsolidasi. Hasil monitoring harus dicerna dengan cermat sesuai urut-urutan intelligence cycle yang berlaku, sehingga semua informasi terolah menjadi sangat bisa dipercaya untuk diserahkan ke Crisis Center.
“Dalam era reformasi dan alam demokrasi sekarang ini semua hasil pekerjaan itu tak mungkin dapat ditindaklanjuti tanpa adanya payung politik untuk melegalisasikannya, sehingga semua langkah tidak keluar dari paradigma demokrasi dan HAM universal yang belaku,” tulis Hendropriyono lagi dalam bukunya.
Manakala keadaan negatif makin berlarut, maka Crisis Center harus memikirkan pemberlakukan keadaan darurat sipil secara lokal di tempat-tempat tertentu yang dinilai perlu.
Crisis Center terdiri dari para pejabat yang berwenang, eksekutif, legislatif yang didukung juga oleh yudikatif. Dalam hal ini, kewenangan, legalitas, dan kualifikasi pengusut sangat diperlukan termasuk untuk mengakses berbagai data dalam dokumen intelijen berklasifikasi rahasia yang ada dalam birokrasi dan organisasi pemerintahan terkait.
Pola Hukuman
Dalam hal menghadapi terorisme, pemerintah juga harus bisa tegas dalam memberikan hukuman, seperti hukuman mati atau seumur hidup. Metode ini pernah dilakukan sejumlah negara dan memberikan hasil efektif.
Kelompok teroris sayap kiri Jerman, Baader-Meinhof yang telah melakukan beberapa pengeboman dan pembunuhan dapat ditumpas habis setelah pengadilan Jerman menjatuhi hukuman seumur hidup kepada para pemimpin kunci, termasuk Andreas Baader dan Ulrike Meinhof.
Menurut Hendropriyono, metode hukuman mati atau seumur hidup dalam banyak hal akan mencegah kelompok teroris lain yang mungkin sedang merencanakan tindakan-tindakan serupa di kemudian hari.
Kedua, kombinasi hukuman berat dengan reward pembebasan tuntutan atau pengurangan masa hukuman. Dalam banyak hal ini akan membuat bimbang para pelaku. Sekalipun para pelaku pengeboman merupakan suatu tim, integritas masing-masing individunya tidak mungkin sama. Seperti halnya working team lain di berbagai bidang, tentu ada saja di antara mereka yang menjadi motor dan ada pula yang hanya bertindak sebagai pengikut.
“Mereka yang berstatus sebagai pengikutlah yang biasanya lebih mudah mengubah pendiriannya bila dihadapkan pada konsesi-konsesi yang lebih menguntungkan,” tulis Hendropriyono, seraya mencontohkan kasus pengeboman di malam Natal tahun 2000.
Bila itu dilakukan, dia optimistis proses pengungkapan kasus pengeboman tidak akan membutuhkan waktu lama.
Sejauh ini, kata Hendropriyono, kinerja Satuan Tugas Bom dan Detasemen Khusus 88 Antiteror sudah sangat baik. Melancarkan operasi antiteror dengan metode operasi balik, menggunakan para mantan teroris yang telah sadar dan dapat dipercaya untuk mengejar dan menarik teman-temannya mengikuti langkah mereka, kembali ke ‘alam nyata’.
Namun, memang kebocoran dalam deradikalisasi kadang kala masih terjadi akibat satu dan lain hal. Air Setyawan (mantan narapidana terorisme) kembali melakukan teror sampai ditembak dalam penyerbuan polisi di Jatiasih, Bekasi pada Agustus 2009 dini hari.
Peristiwa Astanaanyar
Pelaku bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar, kata Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, adalah residivis kasus bom panci Cicendo, Jawa Barat.
Dalam insiden bom bunuh diri di Mapolsek Astanaanyar, pelakunya adalah Agus Sujatno atau Agus Muslim, mantan narapidana kasus bom panci Cicendo, Jawa Barat pada 2017. Pelaku sempat ditahan selama 4 tahun di Nusakambangan dan bebas pada Oktober 2021.
Menurut Kapolri, Agus termasuk mantan napi yang sulit dilakukan deradikalisasi sehingga statusnya masih ‘merah’. Maka proses deradikalisasi perlu teknik dan taktik berbeda karena yang bersangkutan masih susah diajak bicara, cenderung menghindar, walaupun sudah melaksanakan aktivitas.
“Setelah bebas dari Nusakambangan sudah diselidiki pihak kepolisian. Pelaku juga terafiliasi masuk dalam jaringan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) Bandung atau Jabar,” kata Listyo Sigit pada 7 Desember 2022.
Adapun untuk jenis bom yang digunakan oleh pelaku, tambah Kapolda Jawa Barat, Irjen Suntana masih dalam proses identifikasi lebih lanjut. Proyektil dari ledakan bom diduga berupa paku tembok hingga paku payung.
Dalam melakukan aksinya pelaku membawa dua unit bom, satu menempel di tubuh dan satu bom lagi belum sempat diledakkan dan sudah berhasil dijinakkan.
“Satu bom yang ditemukan itu kemudian 'didisposal' oleh anggota Gegana Brimob dengan cara diledakkan di tempat yang aman,” kata Suntana dilansir dari Antara.
Pelaku datang ke Polsek Astanaanyar menggunakan sepeda motor berwarna biru yang terparkir di luar Polsek. Di bagian depan motor, menutupi plat nomor tertempel kertas bertuliskan ‘KUHP= HUKUM Syirik/Kafir Perangi para penegak Hukum Setan QS 9:29’.
Pelaku kemudian masuk ke dalam area Polsek ketika petugas sedang apel pagi. Sempat mengacungkan pisau hingga membuat beberapa anggota menghindar. Setelah itu, terjadi ledakan. Dari video yang beredar di media sosial pada Rabu (7/12) pagi, tubuh pelaku hancur tercerai-berai.
“Akibat ledakan itu, 11 orang menjadi korban. Satu di antaranya, yakni Aipda Agus Sopyan meninggal dunia,” Suntana menandaskan.
Baca juga:
- UU KUHP Baru: AwasI Penghinaan Terhadap Presiden, Unjuk Rasa, dan Perzinaan Dapat Dipidana
- Sidang Ferdy Sambo: Polisi-Polisi Itu Kecewa, Kena Sanksi Akibat Terlalu Patuh Perintah Komandan
- Kontroversi Acara Relawan Jokowi di Stadion GBK dalam Media Sosial Menurut Pantauan Netray
- Lanjutan Sidang Ferdy Sambo: Perjuangan Richard Eliezer untuk Meyakinkan Hakim