Ditunjuk Jadi PM Malaysia, Anwar Ibrahim Dinanti PR Rasisme dan Inflasi

JAKARTA - Raja Malaysia Al-Sultan Abdullah Ri'ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah menunjuk pemimpin oposisi Anwar Ibrahim sebagai perdana menteri pada Hari Kamis, dengan sejumlah pekerjaan rumah (PR) sudah menantinya.

Penunjukan ini mengakhiri lima hari krisis pasca pemilihan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seiring dengan hasil yang tidak meyakinkan.

Keputusan tentang perdana menteri jatuh ke tangan Raja Malaysia atau Yang di-Pertuan Agong, setelah Anwar dan Muhyiddin melewatkan tenggat Selasa sore untuk membentuk aliansi yang berkuasa.

Koalisinya, yang dikenal sebagai Pakatan Harapan, memenangkan kursi terbanyak dalam pemungutan suara hari Sabtu dengan 82, sementara blok Perikatan Nasional Muhyiddin memenangkan 73. Mereka membutuhkan 112, mayoritas sederhana, untuk membentuk pemerintahan.

Anwar memimpin koalisi partai multietnis dengan kecenderungan progresif. Sementara, aliansi Muhyiddin mencerminkan pandangan yang lebih konservatif, etnis Melayu, Muslim.

Para pendukungnya mengungkapkan harapan, pemerintahan Anwar akan mencegah kembalinya ketegangan bersejarah antara etnis Melayu, mayoritas Muslim, dengan minoritas etnis China dan India.

"Yang kami inginkan adalah moderasi untuk Malaysia dan Anwar mewakili itu," kata seorang manajer komunikasi di Kuala Lumpur, yang meminta untuk diidentifikasi dengan nama keluarga Tang, melansir Reuters 24 November.

Anwar Ibrahim. (Wikimedia Commons/Firdaus Latif)

"Kita tidak dapat memiliki negara yang terbagi oleh ras dan agama, karena itu akan membuat kita mundur 10 tahun lagi," sambungnya.

Terpisah, dalam wawancara sebelum pemilihan Anwar mengatakan kepada Reuters, dia akan berusaha "menekankan pemerintahan dan antikorupsi, membersihkan Malaysia dari rasisme dan kefanatikan agama" jika diangkat menjadi perdana menteri.

Adapun Blok Muhyiddin termasuk partai Islam PAS, yang kemenangan elektoralnya menimbulkan kekhawatiran di antara anggota komunitas etnis Tionghoa dan etnis India, yang sebagian besar menganut agama lain.

Sebelumnya, pihak berwenang memperingatkan setelah pemungutan suara akhir pekan, tentang peningkatan ketegangan etnis di media sosial dan platform video pendek TikTok, mengatakan sangat waspada terhadap konten yang melanggar pedomannya.

Pengguna media sosial melaporkan banyak unggahan TikTok sejak pemilihan, menyebutkan kerusuhan di ibu kota, Kuala Lumpur, pada 13 Mei 1969, yang menewaskan sekitar 200 orang, beberapa hari setelah partai oposisi yang didukung oleh pemilih etnis Tionghoa melakukan terobosan dalam pemilihan.

Polisi mengatakan kepada pengguna media sosial untuk menahan diri dari unggahan provokatif, mengatakan mereka menyiapkan pos pemeriksaan 24 jam di jalan-jalan di seluruh negeri, untuk memastikan kedamaian dan keamanan publik.

Sebagai perdana menteri, Anwar juga harus mengatasi inflasi yang melonjak dan pertumbuhan yang melambat, saat berusaha pulih dari pandemi virus corona.

Masalah yang paling mendesak adalah anggaran untuk tahun depan, yang telah diajukan sebelum pemilihan diadakan tetapi belum disahkan.

Tak kalah penting, Anwar juga harus merundingkan kesepakatan dengan anggota parlemen dari blok lain, untuk memastikan dia dapat mempertahankan dukungan mayoritas di parlemen.

"Anwar diangkat pada saat kritis dalam sejarah Malaysia, di mana politik paling retak, pulih dari ekonomi yang tertekan dan memori COVID yang pahit," kata James Chai, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura.

"Selalu dianggap sebagai orang yang bisa menyatukan semua faksi yang bertikai, sudah sepantasnya Anwar muncul di masa yang memecah belah," tandasnya.