Jurnalis Perempuan Pembela Hak Wanita Afghanistan Dibunuh ISIS
JAKARTA - Kelompok radikal ISIS mengaku bertanggung jawab atas kematian seorang jurnalis wanita dan aktivis hak-hak wanita di Afghanistan Malala Maiwand. Peristiwa tersebut menggarisbawahi tren kekerasan yang meningkat terhadap jurnalis di Afghanistan.
Malala Maiwand adalah seorang presenter di Radio dan TV Enikas di Nangarhar. Mengutip Reuters, Jumat, 11 Desember, Maiwand tewas bersama dengan sopirnya dalam perjalanan menuju kantornya di ibu kota regional Jalalabad.
Tewasnya Maiwand menjadikan jumlah total jurnalis dan pekerja media yang tewas tahun ini di Afghanistan menjadi sepuluh. "Dia sedang dalam perjalanan ke kantor saat insiden itu terjadi," kata Attaullah Khogyani, juru bicara gubernur provinsi.
Nangarhar telah menjadi sarang aktivitas militan, terutama yang melibatkan ISIS. Mereka menyatakan bertanggung jawab atas kematian Malalai Maiwand melalui Telegram dan menyebut Malalai Maiwand sebagai jurnalis "pro-rezim."
Maiwand, yang berusia 25 tahun bukanlah orang pertama di keluarganya yang menjadi sasaran pembunuhan. Pada lima tahun yang lalu, ibunya yang juga seorang aktivis, dibunuh oleh orang bersenjata tak dikenal.
Saluran TV Enikas juga menjadi sasaran sebelumnya, dengan pemiliknya yaitu Engineer Zalmay, diculik untuk mendapatkan uang tebusan pada 2018. Rangkaian kejadian itu diyakini berdampak pada kerja jurnalistik di negara tersebut.
“Dengan terbunuhnya Malala, lapangan kerja untuk jurnalis perempuan semakin kecil dan jurnalis mungkin tidak berani melanjutkan pekerjaan mereka seperti yang mereka lakukan sebelumnya,” kata Nai, sebuah kelompok advokasi media Afghanistan, dalam sebuah pernyataan.
Kematian jurnalis
Bulan lalu, jurnalis Radio Azadi bernama Elyas Dayee, tewas dalam ledakan bom di Helmand. Sementara itu Yama Siawash, mantan presenter TOLOnews, tewas dalam ledakan serupa di Kabul.
Berbagai kekerasan terhadap jurnalis terjadi ketika pembicaraan antara pejabat Afghanistan dan Taliban berlanjut di Doha, Qatar. Kedua belah pihak membuat beberapa kemajuan dalam masalah awal tetapi belum mulai membahas gencatan senjata atau perjanjian pembagian kekuasaan.
Baca juga:
Pemerintah Afghanistan, Kedutaan Besar Jerman, delegasi Uni Eropa, dan duta besar Inggris mengutuk serangan yang semakin meningkat terhadap jurnalis dan aktivis. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan Tariq Arian mengatakan bahwa dalam satu setengah dekade terakhir, sebagian besar jurnalis yang terbunuh adalah korban militan Taliban.
Organisasi internasional dan pemerintah telah menyuarakan kekhawatiran tentang kemungkinan pembalikan kemajuan hak-hak perempuan selama dua dekade terakhir jika Taliban kembali ke kekuasaan. Taliban dikhawatirkan dapat kembali menguasai setelah penarikan pasukan asing dari negara asing yang dijadwalkan akan dilakukan pada 2021.