Buku Baru Jenderal Moeldoko: Antara Dunia Militer dan Bisnis

JAKARTA - Dunia militer dan bisnis meski dalam beberapa hal memiliki perbedaan yang diametral tetapi tetap memiliki persinggungan yang erat. Seorang pemimpin militer bisa belajar banyak hal dari dunia bisnis, begitu pula sebaliknya.

Mantan panglima TNI yang kini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal Moeldoko menjabarkan itu lewat pengalamannya, baik sebagai seorang tentara, pebisnis, dan pegawai pemerintahan.

Sebagai pebisnis, prinsip know your customer, understand what the customer needs mungkin telah menjadi konsumsi harian. Bila ingin sukses, pelaku bisnis harus benar-benar memahami pelanggannya, mengerti apa yang mereka butuhkan.

Sedangkan sebagai tentara, mungkin itu sesuatu yang tidak lazim. Namun, sejatinya, pemimpin yang baik dan bijak sudah sepantasnya harus mengenal lebih dekat anak buahnya selaku customer dan berusaha memahami apa yang mereka inginkan.

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (kiri) dan KSAD Letjen TNI Budiman (kanan) mengucapkan sumpah jabatan saat acara pelantikan keduanya yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta pada 30 Agustus 2013. (Antara)

Semasa menjadi tentara, Jenderal Moeldoko pernah berpesan, “Pandanglah anak buahmu bukan dengan mata telanjang, tapi dengan mata hati.”

Sehingga, seorang pemimpin militer bisa lebih memahami keinginan yang tersembunyi dari para anak buahnya. Ketika melakukan penelitian mengenai daerah perbatasan untuk program doktoralnya, Moeldoko menyadari, membangkitkan spirit prajurit di wilayah terluar Indonesia dan masyarakat di daerah perbatasan kuncinya adalah konektivitas.

Sayangnya, konektivitas sering kali hanya dipahami sebagai interrelasi secara fisik: membangun jembatan, jalan raya, jaringan listrik, serta infrastuktur lainnya. Padahal konektivitas dalam arti yang lebih luas juga bisa bersifat nonfisik, yaitu komunikasi yang intensif antara pemerintah dan masyarakat terdepan di perbatasan dengan sebuah komunikasi yang dapat menyentuh emosi dan perasaan.

Mereka yang ada di sana butuh di-uwongke, dimanusiakan. Inilah suara hati terdalam mereka. “Ini mungkin yang dalam bahasa bisnis disebut dengan memahami anxiety and desire,” kata Jenderal Moeldoko dalam buku terbarunya M-Leadership, Berani Memimpin.

Kawah Candradimuka

Demikian sebaliknya, ada sejumlah hal dalam dunia militer yang juga berguna dalam dunia bisnis. Seperti kisah Eddie Rickenbacker (1890-1973), pilot tempur asal Amerika Serikat dengan catatan paling gemilang selama Perang Dunia I yang membawa dia dianugerahi Medal of Honor serta berbagai bintang jasa lain.

Seusai Perang Dunia I, Rickenbacker mengabdi sebagai Vice President di Eastern Air Transport (salah satu maskapai penerbangan terbesar Amerika yang nantinya berubah nama menjadi Eastern Air Lines). Keberaniannya mengambil risiko ternyata tidak hanya berlaku di medan laga. Di perusahaan ini ia membuat gebrakan besar dengan mengubah total cara bisnisnya.

Ketika semua maskapai penerbangan bisa bertahan hidup dengan menyandarkan diri pada subsidi pemerintah, Rickenbacker justru lebih menginginkan agar bisnisnya bisa berjalan mandiri. Pantang baginya mengemis dana subsidi.

Keberaniannya berbuah manis. Dalam waktu 2 tahun Eastern Air Transport bisa membukukan laba, pertama kalinya dalam sejarah maskapai penerbangan dunia. Rickenbacker terus memimpin perusahaan tersebut secara gemilang selama 30 tahun dan pensiun di usia 73 tahun.

Kisah itu, menurut Jenderal Moeldoko, menguatkan hipotesis sebagian pakar bahwa dunia militer bisa menjadi kawah candradimuka yang efektif melahirkan pemimpin-pemimpin besar.

Jenderal Moeldoko mengutip teori Tom Kolditz, direktur Leadership Development Program di Yale School of Management, karena tentara dididik dengan model pelatihan dan pembinaan yang sangat terstruktur, melebihi yang ada di dunia bisnis serta pemerintahan.

Setelah dua tahun lepas dari tugas kemiliteran, pada 17 Januari 2018, Dr. Moeldoko diangkat Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Staf Kepresidenan RI. (Instagram/@dr_moeldoko)

“Kedua, militer sangat menekankan pentingnya rasa tanggung jawab bagi setiap anggotanya, bahkan hingga ke level yang paling bawah. Dan terakhir, dan mungkin yang paling penting, kepemimpinan militer dibangun berdasarkan konsep pelayanan dan pengorbanan,” kata Jenderal Moeldoko.

Bahkan menurut Dan Senor dan Saul Singer dalam buku Start-Up Nation, dunia militer dianggap bisa memberikan kontribusi bagi pertumbuhan semangat kewirausahaan di sebuah negara.

Banyak pula konsep baru dalam ilmu manajemen bisnis dan kepemimpinan yang terinspirasi dari buku-buku strategi perang seperti The Art of War karya Sun Tzju jenderal militer sekaligus ahli strategi China, buku On War karya Carl von Clausewitz (1780-1831), perwira militer sekaligus ahli strategi Prusia, dan The Little Red Book karya Mao Zedong (1893-1976), sang pendiri negara Republik Rakyat Tiongkok.

“Inilah salah satu alasan kenapa saya tertarik untuk mengambil program MBA (Master of Business Administration) saat masih menjabat sebagai Komandan Kodim 0501/Jakarta Pusat pada tahun 1997,” tutur Jenderal Moeldoko.

Salah satu kiprah Jenderal Moeldoko di sektor bisnis yakni mendirikan pabrik bus bertenaga listrik. Selain itu, Moeldoko juga aktif di ranah ekonomi syariah. Bersama putranya, diketahui ia mendirikan fintech syariah yang berorientasi membantu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Kendati begitu, tambah Moeldoko, seperti yang diucapkan Jenderal Soedirman, “Tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri di atas masyarakat. Tentara tidak lain dan tidak lebih adalah bagian dari masyarakat yang memiliki kewajiban tertentu”.

"Bila hanya bertumpu pada organisasi militer saja ibarat membangun rumah sebatas fondasinya. Perlu ada hal lain yang melengkapi, dan itu adalah lembaga sipil dan organisasi bisnis. Lembaga sipil di sini bisa diartikan secara luas, mencakup organisasi pemerintahan maupun nonpemerintahan," imbuh Jenderal Moeldoko.