KPK Sebut Terminologi 'Kedermawanan' Kaburkan Esensi Potongan Hukuman untuk Fahmi Darmawansyah
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut penggunaan terminologi kedermawanan dalam sebuah putusan akan mengaburkan esensi dari kata tersebut. Hal ini disampaikan oleh Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri untuk menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang memangkas hukuman terpidana kasus suap fasilitas Lapas Sukamiskin, Fahmi Darmawansyah.
"Putusan hakim haruslah tetap kita hormati. Namun, di tengah publik yang saat ini sedang bersemangat dalam upaya pembebasan negeri ini dari korupsi, penggunaan terminologi kedermawanan dalam putusan tersebut mengaburkan esensi makna dari sifat kedermawanan itu sendiri," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 9 Desember.
Dia menegaskan apapun yang dilakukan oleh Fahmi dalam perkara ini adalah perbuatan yang tercela. Apalagi, Fahmi memberikan sesuatu kepada penyelenggara negara ataupun pegawai negeri karena memiliki kepentingan pribadi.
"Pemberian sesuatu kepada penyelenggara negara ataupun pegawai negeri karena kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki si penerima, sementara si pemberi ada kepentingan dibaliknya tentu itu perbuatan tercela," tegasnya.
Bahkan, Ali menilai, apa yang dilakukan Fahmi ini adalah masuk dalam kategori suap, "Atau setidaknya bagian dari gratifikasi yang tentu ada ancaman pidananya," ungkap dia.
Diberitakan sebelumnya, majelis hakim Peninjauan Kembali (PK) menilai pemberian mobil Mitsubishi Triton dari pengusaha Fahmi Darmawansyah untuk Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husein adalah bentuk kedermawanan suami artis Inneke Koesherawati tersebut.
"Bahwa Wahid Husen meminta mobil Mitsubishi Triton tersebut yang kemudian pemohon Peninjauan Kembali menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut, bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh pemohon melainkan karena sifat kedermawanan pemohon," demikian putusan PK Fahmi yang dilihat di laman Mahkamah Agung Jakarta, dilansir Antara, Selasa, 8 Desember.
Majelis hakim PK dalam putusan-nya mengurangi vonis terhadap Fahmi dari tadinya 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurungan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Bandung pada 20 Maret 2020, menjadi 1,5 tahun dan pidana denda sebesar Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Vonis PK itu dijatuhkan oleh majelis hakim PK yang terdiri dari Salman Luthan selaku ketua majelis, Abdul Latif dan Sofyan Sitompul masing-masing selaku anggota majelis.
Dalam pertimbangannya, majelis PK mengurangi hukuman Fahmi adalah karena putusan Pengadilan Negeri belum mempertimbangkan dasar alasan-alasan penjatuhan pidana yaitu nilai suap yang diberikan Fahmi relatif kecil dan Fahmi dinilai tidak memiliki niat untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari perbuatan tersebut.
Baca juga:
Alasan lainnya adalah Fahmi dinilai sebagai satu-satunya terpidana di Lapas Klas 1 Sukamiskin Bandung yang diberikan sanksi berupa pidana penjara dan pidana denda menurut UU Tindak Pidana Korupsi karena terbukti menikmati fasilitas lapas dibandingkan dengan warga binaan lainnya yang juga sebelumnya telah menikmati fasilitas yang sama di dalam Lapas.
"Sehingga keadaan sebagai dasar dan alasan putusan 'Judex Facti' (pengadilan negeri) menghukum pemohon/terpidana Peninjauan Kembali adalah menjadi bertentangan dengan prinsip perlakuan yang sama atau diskriminasi dalam 'due process of law' yang dilakukan oleh Majelis Hakim Judex Facti dalam mengadili perkara aquo," kata majelis hakim PK.
Majelis hakim PK juga menilai bahwa berbagai fasilitas yang diperoleh Fahmi termasuk merenovasi kamar (sel) dengan modal yang berasal dari Fahmi yang sebelumnya sudah ada sejak Dedi Handoko menjabat sebagai Kepala Lapas Klas 1 Sukamiskin kemudian diganti oleh Wahid Husen selaku Kepala Lapas sejak Maret 2018.
"Wahid Husen membiarkan hal tersebut terus berlangsung yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas karena tidak sesuai dengan ketentuan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan sehingga pemohon PK tidak dapat dipersalahkan memperoleh berbagai fasilitas dalam Lapas yang seharusnya merupakan tugas dan tanggung jawab Wahid Husen selaku Kepala Lapas Klas 1 Sukamiskin," ungkap majelis hakim.
Selanjutnya pemberian Fahmi kepada Wahid Husen selaku Kepala Lapas atau penyelenggara negara yaitu berupa uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, hadiah ulang tahun berupa tas cluth bag merek Louis Vuitton untuk atasan Wahid Husen, sepasang sepatu sandal merek Kenzo untuk isteri Wahid Husen senilai Rp39,5 juta serta sebuah mobil jenis double 4x4 merek Misubishi Triton warna hitam dengan harga Rp427 juta bukan karena adanya berbagai fasilitas yang telah diperoleh Fahmi sebagai warga binaan.
"Yang bertentangan dengan kewajiban Wahid Husen selaku Kepala Lapas atau dengan kata lain tidak ada hubungan hukum antara pemberian sesuatu oleh Pemohon dengan kewajiban Kepala Lapas untuk berbuat, atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya," tutur majelis hakim PK.