Kepercayaan Diri Industri Manufaktur Naik di Tengah Krisis Ekonomi Global
JAKARTA - Kementerian Perindustrian menyebut industri manufaktur di Indonesia masih menunjukkan geliat positif di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu akibat krisis dan resesi.
Hal itu tercermin dari laporan S&P Global yang menunjukkan capaian Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober 2022 yang berada di level 51,8.
Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, posisi di atas 50,0 menandakan sektor manufaktur dalam tahap ekspansif.
"Selama 14 bulan berturut-turut, PMI manufaktur Indonesia konsisten tetap di jalur ekspansif atau masih bergeliat di tengah tekanan ekonomi global," kata Agus dikutip Rabu, 2 November.
PMI manufaktur Indonesia, kata Agus, pada Oktober ini masih lebih baik dibandingkan PMI manufaktur dunia yang berada di level 49,8. Indonesia pun terbilang berada di level tinggi dibandingkanbeberapa negara manufaktur global, seperti China (49,2), Jerman (45,7), Jepang (50,7), dan Korea Selatan (47,3).
PMI Manufaktur Indonesia bahkan lebih unggul ketimbang beberapa negara ASEAN, seperti PMI manufaktur Vietnam (50,6), Malaysia (48,7), dan Thailand (51,6).
"PMI manufaktur di seluruh dunia turun, bahkan di negara-negara industri yang besar angkanya di bawah 50 atau tidak ekspansif," ujarnya.
Menurut Agus, tantangan yang dihadapi sektor industri dalam negeri adalah pasar tujuan ekspor yang mengalami pelemahan ekonomi, seperti China, Amerika Serikat, dan Eropa.
Hal itu berdampak terhadap penyerapan beberapa produk ekspor unggulan, seperti tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, dan furnitur.
Selanjutnya, industri juga dibayangi harga input tinggi yang dapat menurunkan daya saing produknya.
"Selain bahan baku yang semakin mahal, pasokannya juga masih belum lancar," tambah dia.
Untuk menjaga optimisme sektor industri, Agus mengatakan perlunya upaya antisipasi terhadap kondisi ekonomi global yang sedang lesu, salah satunya melalui kemitraan antara industri skala besar dengan Industri Kecil dan Menengah (IKM).
"Upaya ini dapat meningkatkan kemandirian rantai pasok di dalam negeri, mendukung program substitusi impor, serta menjaga agar industri masih bisa tumbuh sehat untuk berproduksi," paparnya.
Terkait produk ekspor yang mulai terdampak kondisi ekonomi negara tujuan, perlu penguatan pasar dalam negeri yang mampu menyerap produk-produk tersebut, termasuk pengoptimalan belanja pemerintah melalui Program Peningkatan Produk Dalam Negeri (P3DN).
"Hal ini perlu dipelajari dan dikaji agar sektor industri tidak mengalami perlambatan," tegas Agus.
Baca juga:
Kendati demikian, Agus optimistis di tengah bayang-bayang inflasi, industri manufaktur akan tetap menjadi kontribusi paling besar guna menopang kinerja perekonomian nasional.
"Pertumbuhan berkelanjutan di keseluruhan aspek permintaan pada sektor manufaktur Indonesia mendorong kenaikan produksi manufaktur pada Oktober," tandas Agus.
Sekadar diketahui, berdasarkan data BPS, industri pengolahan mencatatkan nilai ekspor sepanjang Januari-September 2022 sebesar 156,17 miliar dolar AS atau naik 22,23 persen dibandingkan periode yang sama sebelumnya. Sektor industri tetap memberikan kontribusi paling besar senilai 71,2 persen dengan total nilai ekspor nasional sebesar 219,35 miliar dolar AS.