Babak Baru Kasus Dugaan Korupsi Aset 65 Hektare di Gili Trawangan, Kejati NTB Panggil Penyewa Aset

NTB - Penyidik kejaksaan memanggil pria berinisial MW, terduga penyewa aset berupa lahan seluas 65 hektare di kawasan wisata Gili Trawangan yang dimiliki Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB).

MW dipanggil sebagai saksi dalam kasus dugaan pelanggaran hukum pengelolaan aset di Gili Trawangan. Hal itu tertuang dalam surat panggilan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB nomor SP-1116/N.2.5/Fd.1/10/2022.

Dalam surat itu, MW dijadwalkan diperiksa di Kantor Polsek Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, besok Selasa 25 Oktober.

Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputra mengaku tidak mengetahui perihal pemanggilan itu. Padahal panggilan ditandatangani Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati.

"Saya tidak tahu, tidak ada kabar kepada saya," kata Efrien saat dikonfirmasi, Senin 24 Oktober.

Ketika dikonfirmasi kembali adanya bukti foto surat panggilan MW sebagai saksi, Efrien irit bicara. Ia enggan menjelaskan dan berkilah tidak ada informasi masuk kepada dirinya terkait pemanggilan itu.

"Saya tidak tahu. Belum dapat informasi," ujar Efrien.

Sebelumnya, Kejati NTB mempertimbangkan kasus dugaan korupsi pengelolaan aset lahan seluas 65 hektare di kawasan wisata Gili Trawangan naik ke tahap penyidikan.

Hal itu berdasarkan gelar perkara yang menyatakan adanya indikasi pelanggaran hukum dalam pengelolaan aset di Gili Trawangan.

Penyidik Kejaksaan juga telah menyusun agenda pemeriksaan saksi, ahli, hingga upaya penelusuran potensi kerugian negara.

Di tengah penanganan kasus, terjadi pergantian jabatan di lingkungan Kejati NTB. Sungarpin ditunjuk menggantikan Tomo Sitepu menjadi Kepala Kejati NTB dan Ely Rahmawati menggantikan Gunawan Wibisono sebagai Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB.

Sejak adanya pergantian penyidikan kasus ini terkesan jalan di tempat. Belum ada kabar terkait upaya kejaksaan melakukan pemeriksaan seperti agenda di awal kasus ini naik ke tahap penyidikan.

Awal Kasus

Kasus dugaan korupsi pengelolaan aset lahan seluas 65 hektare di kawasan wisata Gili Trawangan ini berawal dari adanya laporan masyarakat. Laporan mengarah pada dugaan pungutan liar (pungli) perihal pemanfaatan hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemprov NTB yang menjadi kesepakatan dalam kontrak produksi dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI).

Persoalan itu diduga muncul sejak 1998 ketika PT GTI mengantongi kesepakatan kontrak produksi dari Pemprov NTB untuk mengelola lahan.

Dalam periode tersebut, muncul dugaan sejumlah pihak yang mengambil keuntungan pribadi. Dugaan itu berkaitan dengan sewa lahan secara masif dan ilegal.

Untuk kondisi terkini di areal seluas 65 hektare di kawasan wisata Gili Trawangan, sudah terdapat bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat penunjang pariwisata.

Pemetaan situasi di atas lahan itu pun telah dilakukan pihak kejaksaan. Hal itu didapatkan ketika Kejati NTB menjalankan tugas sebagai jaksa pengacara negara (JPN) untuk menyelamatkan dan menertibkan aset di kawasan wisata tersebut.

Upaya penyelamatan aset ini pun sebelumnya diharapkan dapat mendongkrak pendapatan asli daerah dengan prediksi keuntungan hingga triliunan rupiah.