Gagal Ginjal Akut dan Larangan Obat Sirop
Sejumlah pasien gagal ginjal akut, mayoritas anak-anak meninggal. Pemerintah, organisasi dokter dan pakar farmasi mengimbau agar menghentikan penggunaan sementara paracetamol yang kemudian secara umum obat cair sirop. Sejumlah merek terkenal masuk daftar. Membuat prihatin karena dalam daftar yang dikeluarkan beberapa merek bahkan sudah diproduksi puluhan tahun. Menjadi obat umum standar jika anak mengalami panas.
Melarang sementara waktu menggunakan obat sirop tersebut dikeluarkan lantaran mengandung senyawa kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Lalu, apa itu senyawa EG dan DEG? Dalam siaran pers resminya Badan pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut senyawa kimia etilen glikol maupun dietilen glikol dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada produk obat sirop anak.
Sejumlah obat batuk sirop yang beredar di Indonesia mengandung polietilen glikol atau zat pelarut tambahan. Polietilen glikol sebenarnya tidak beracun, tetapi kualitas produksinya buruk, bisa menghasilkan cemaran berupa senyawa kimia seperti etilen glikol, dietilen glikol, dan etilen glikol butil ether.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangannya kepada media pekan lalu mengatakan, cemaran itulah yang berbahaya. Menurutnya, kalau dilihat di label pasti tidak ada karena bukan bahan aktif. Melainkan pelarut tambahan yang memang sangat jarang ditulis di senyawa aktif obat. Dalam kadar tertentu etilen glikol sangat beracun, hewan atau manusia yang meminum larutan tersebut bisa menjadi sangat sakit hingga menyebabkan kematian.
Melansir laman VUMC, seperti yang pernah dimuat VOI, etilen glikol dan dietilen glikol merupakan senyawa alkoholik tidak berwarna, tidak berbau, dan memiliki rasa manis. Etilen glikol adalah molekul individu dengan rumus C2H6O2. Sedangkan, dietilen glikol dibentuk oleh kombinasi dua molekul etilen glikol melalui ikatan eter. Memiliki rumus molekul C4H10O3.
Gangguan Ginjal Akut
Di Indonesia peningkatan kasus gangguan ginjal akut terus meningkat. Data Kementerian Kesehatan menyebut, awalnya hanya 4 kasus pada triwulan pertama 2022. Kemudian meningkat 8 kasus pada triwulan kedua, 119 kasus pada triwulan ketiga, dan 110 kasus pada Oktober 2022. Jadi, periode Januari-Oktober 2022 terdapat 241 kasus gangguan ginjal akut. Dan, peningkatan signifikan mulai terjadi pada Agustus 2022.
Dalam konferensi pers pekan lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, dari jumlah tersebut, 153 kasus menyerang anak usia 1-5 tahun, 37 kasus usia 6-10 tahun, 26 kasus usia kurang dari 1 tahun, dan 25 kasus menyerang usia 11-18 tahun. Mayoritas pasien, kata Budi Gunadi, mengalami gejala klinis mulai dari demam, kehilangan nafsu makan, lelah dan tidak enak badan, mual, muntah, ISPA, diare, nyeri bagian perut, dehidrasi, hingga pendarahan.
Sejauh ini, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan beberapa lembaga lain sudah melakukan sejumlah penelitian terkait penyebab merebaknya gangguan ginjal akut.
Berdasar analisis patologi yang dilakukan terhadap 32 kasus per 18 Oktober 2022, sangat kecil disebabkan karena Human Parainfluenza virus, influenza A, adeno virus, atau karena koinfeksi.
Dari pengecekan dilakukan terhadap beberapa pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Hasilnya, lebih dari 60 persen pasien memiliki etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG), ditambah satu senyawa kimia lainnya, yakni etilen glikol butil ether.
Kemudian, Kementerian Kesehatan melakukan penelusuran dengan mendatangi 156 rumah pasien. Ini untuk mengetahui dari mana senyawa kimia tersebut masuk ke dalam tubuh. Petugas mengambil beberapa sampel obat, khususnya obat sirop yang sempat dikonsumsi pasien.
Kesimpulan sementara, ada 102 obat sirop yang diketahui menjadi riwayat pengobatan para pasien gangguan ginjal akut. Walau kemudian Minggu (23/10) hasil pemeriksaan BPOM dari 102 ada 23 yang tidak menggunakan pelarut berbahaya.
Diakui, meski belum tahu mana obat yang berbahaya dan yang tidak, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) langsung mengambil kebijakan yang bersifat konservatif. Meminta seluruh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tidak meresepkan obat-obat dalam bentuk sediaan cair atau sirop. Juga, meminta seluruh apotek tidak menjual obat sirop yang daftarnya diumumkan Kemenkes kepada masyarakat. Sebuah langkah yang patut diapresiasi.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri sudah meminta perusahaan farmasi melakukan uji mandiri terhadap produk-produk obat sirop. Inspektur Utama BPOM Elin Herlina, seperti dimuat di VOI mengatakan, sudah menjadi tanggung jawab perusahaan farmasi dalam memberikan jaminan memproduksi dan mengedarkan produk obat yang aman, bermutu, dan berkhasiat. BPOM pun sudah menerbitkan surat kepada pimpinan dan penanggung jawab apotek farmasi tanggal 18 Oktober untuk meminta pengujian secara mandiri terhadap bahan baku yang digunakan dan meminta melaporkan hasilnya kepada BPOM.
Baca juga:
Namun, ada hal yang menjadi sorotan masyarakat. Dari daftar obat yang dilarang ada yang sudah diproduksi puluhan tahun. Lalu, selama puluhan tahun ini bagaimana pengawasannya? Kemudian muncul lagi pertanyaan, bagaimana pengawasan yang dilakukan pemerintah atau badan yang berwenang untuk itu? Kalau ada obat-obatan yang sudah beredar puluhan tahun, tiba-tiba diminta atau diimbau untuk tidak digunakan tentu menjadi pertanyaan besar.
Kasus gagal ginjal akut ini harus menjadi catatan penting. Harus menjadi skala prioritas. Oke, pemerintah melalui BPJS Kesehatan menanggung biaya kasus gagal ginjal akut dan mendatangkan obat untuk mengatasinya. Tapi harus lebih dari itu. Harus ada langkah konkrit. Menjadikannya kejadian luar biasa bisa menjadi salah satu alternatif. Dan yang lebih penting, jika benar salah satu pemicunya karena obat-obatan yang mengandung EG dan DEG, ini harus menjadi perhatian khusus. Pengawasan harus benar-benar dijalankan. Kalau ada kelalaian tentu harus diambil tindakan. Korban sudah ada. Ini menyangkut nyawa manusia.